JAKARTA- Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang ditugaskan untuk mendistribusikan bahan bakar minyak (BBM) dan Liquified Petroluem Gas (LPG) subsidi siap melaksanakan seluruh kebijakan ataupun regulasi yang ditetapkan pemerintah. Pengaturan BBM dan LPG subsidi adalah ranah pemerintah mulai dari penetapan kuota, konsumen yang berhak mendapatkannya hingga mekanisme di lapangan.

“Ini tujuannya kan agar BBM dan LPG dapat tepat sasaran. Kami masih menunggu kebijakan dari pemerintah,” ujar Pejabat Sementara Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Heppy Wulansari kepada Dunia Energi, Jumat (27/5/2022).

Pemerintah sebelumnya berkomitmen untuk mempertahankan subsidi BBM khususnya jenis Pertalite dan LPG kemasan 3kg demi menjaga daya beli masyarakat di tengah kenaikan harga-harga komoditas yang terdampak ketidakpastian global. Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui penambahan alokasi dan kompensasi untuk subsidi energi pada 2022. Rinciannya, Rp 71,8 triliun untuk subsidi BBM dan LPG dan Rp 3,1 triliun untuk subsidi listrik.

Harga Pertalite saat ini ditetapkan Rp7.650 per liter, padahal harga keekonomiannya sudah lebih dari Rp12.000 per liter. Sedangkan harga LPG 3kg di pasaran masih dijual Rp20ribu-Rp25 ribu per tabung, sedangkan harga keekonomian LPG saat ini sudah mencapai Rp9000 per kg.

Edy Priyono, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, sebelumnya mengatakan kenaikan subsidi BBM dan LPG ini merupakan dampak dari kenaikan harga migas di pasar global. Pemerintah sebenarnya bisa saja mencabut subsidi dan melepas BBM jenis pertalite dan LPG 3kg dengan harga keekonomian demi menjaga stabilitas APBN. Namun, opsi tersebut tidak dipilih dan pemerintah memutuskan menambah anggaran belanja untuk subsidi energi.

Dia menyebutkan, subsidi energi khususnya LPG, banyak yang kurang tepat sasaran. Pasalnya, tak sedikit dinikmati oleh masyarakat kelas menengah-atas. Karena itu, pemerintah mempertimbangkan untuk melakukan transformasi skema subsidi, dari subsidi terhadap barang menjadi subsidi terhadap orang atau sistem tertutup. “Agar lebih tetap sasaran, hanya mereka yang miskin atau rentan miskin yang menikmati,” jelas dia.

Dengan skema subsidi terbuka seperti saat ini, dikhawatirkan volumenya bisa menjadi tidak terbatas. Karena masyarakat yang harusnya tidak masuk kategori penerima subsidi justru ikut menikmatinya.

Edy mengungkapkan, implementasi transformasi skema subsidi energi akan disesuaikan dengan waktu, terutama melihat kondisi perekonomian terkini. Pemerintah juga masih menunggu kesiapan dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). “Ini untuk menjaring masyarakat yang berhak mendapat subsidi dan tidak menggangu daya belinya,” katanya.

Yayan Satyakti, pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran, mengatakan harga pertalite yang lebih murah dari pertamax membuat konsumen melakukan pergeseran atau shifting dari pertamax ke pertalite sehingga volume konsumsi pertalite pun diproyeksikan meningkat dari kuota. Oleh sebab itu, lanjut Yayan, kunci dari kebijakan ini adalah efektivitas penggunaan subsidi energi.

“Jika kita lihat efektivitas subsidi energi kita sangat kecil dan tidak mengedukasi secara baik terhadap penggunaan energi,” ujarnya.

Dia berharap pemerintah bertindak tegas bahwa masyarakat perkotaan yang memiliki pendapatan lebih tinggi dan mampu untuk membeli pertamax. Sedangkan pertalite difokuskan pada kendaraan umum dan wilayah suburban atau perdesaan yang pendapatannya lebih kecil dan aksesnya lebih terbatas di bandingkan perkotaan.

Pembagian ini dinilai dapat memudahkan pelayanan penggunaan energi oleh Pertamina agar tepat sasaran dan tidak menyulitkan masyarakat untuk mengakses BBM. Jika kebijakan ini segementatif akan menjadi bumerang bagi masyarakat yang nakal. “Selain itu, kita dengan subsidi kendaraan umum diharapkan masyarakat menggunakan kembali transportasi publik dan menghidupkan sektor transportasi yang sudah babak belur akibat pandemi COVID-19,” ujarnya. (DR)