JAKARTA – Penetapan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir sebagai tersangka dalam kasus suap proyek PLTU Riau 1 dinilai sebagai langkah maju untuk membongkar relasi energi batu bara dan praktek korupsi di tingkat elit politik dan pemerintahan, meski langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya telat hampir 10 bulan.

Dwi Sawung, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), mengatakan kasus PLTU Riau 1 menunjukkan pembangunan pembangkit menggunakan energi batu bara, selain sangat kotor dari segi emisi dan dampak lingkungan hidup juga menggunakan praktek bisnis yang kotor penuh dengan suap menyuap.

“PLTU itu dipaksakan dibangun di Riau menggunakan tambang batu bara yang sedang kesulitan memasarkan batu baranya ditengah harga batu bara yang sangat rendah,” kata Dwi, Kamis (25/4).

Dia menambahkan, meski langkah KPK tersebut merupakan langkah maju dalam membongkar praktek korupsi pembangunan energi batu bara, tersangka dalam kasus PLTU Riau 1 ini masih individu komisaris perusahaan, anggota dewan dan dirut PLN, belum menyentuh koorporasi yang melakukan suap.

Korporasi seperti Samantaka, Blackgold dan CHEC belum dijadikan tersangka oleh KPK, padahal pelaku suap Johanes Kotjo tidak mungkin bertindak untuk dirinya sendiri tetapi untuk perusahaan.

Menurut Dwi, kasus serupa juga terjadi terkait dengan pembangunan PLTU Cirebon 2. Dalam sidang kasus suap di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung pada 10 April 2019, kasus OTT Bupati Cirebon Sunjaya, terdapat fakta persidangan bahwa Sunjaya menerima uang dari PLTU Cirebon 2 melalui Hyundai sebagai kontraktor utama. Kasus ini menjadi perhatian WALHI karena lokasi PLTU Cirebon 2 yang tadinya melanggar tata ruang menjadi tidak melanggar tata ruang karena revisi tata ruang Kabupaten Cirebon.

“Kami menengarai ada pihak-pihak lain juga yang menerima uang dari pihak perusahaan untuk memuluskan proyek PLTU Cirebon 2 tersebut,” ujar Dwi.

Dwi menekankan energi bersih yang berbasis potensi energi setempat dan dibangun dengan prinsip mempertimbangkan lokasi dan hak masyarakat setempat harus dikedepankan.

“Karena dua kasus tersebut kami meminta KPK untuk mengusut proyek energi kotor PLTU lain yang kami tenggarai bermasalah juga. Sudah saatnya kita melakukan transisi energi menuju energi bersih yang berkeadilan dan bebas dari korupsi,” tandas Dwi.(RA)