JAKARTA – Lama tidak terdengar kabar baik di Industri migas nasional akibat terus tertatih-tatihnya produksi, akhirnya ada satu kabar baik hadir di penghujung pertengahan tahun ini. Presiden Prabowo Subianto sejak menjabat pada Oktober tahun 2024 lalu terus menggaungkan misi mencapai ketahanan energi melalui sektor migas tapi tidak kunjung ada hal kongkrit yang tersaji.

Yang ditunggu akhirnya tiba, datang dari wilayah yang sudah lama diyakini memang menyimpan banyak potensi cadangan minyak maupun gas bumi.  Datangnya dari Natuna.

Lapangan migas Forel dan Terubuk akhirnya mulai berproduksi seiring dengan telah diselesaikannya pembangunan fasilitas produksi Floating Production Storage and Offloading (FPSO) Marlin Natuna oleh PT Medco E&P Natuna Ltd., anak usaha PT Medco Energi Tbk (MEDC), pengelola lapangan Forel dan Terubuk di South Natuna Block B, Kepulauan Riau.

Dengan total investasi sekitar US$600 juta, proyek ini akan menambah pasokan energi nasional berupa minyak sebesar 20.000 barel per hari (bph) dan 60 Juta kaki kubik per hari (MMscfd) gas, atau 30.000 barel setara minyak per hari (Barrel Oil Equivalent Per Day/BOEPD).

Proyek Forel mencakup dua pekerjaan besar. Pertama adalah pengerjaan FPSO Marlin Natuna dan kedua adalah pembangunan rangkaian fasilitas produksi yang antara lain terdiri dari satu anjungan Well Head Platform (WHP) Forel yang akan digunakan untuk  lima sumur produksi, satu sumur injeksi gas, dan dua sumur tambahan untuk produksi di masa depan. Kemudian satu anjungan Well Head Platform Bronang untuk satu sumur produksi dan dua sumur cadangan.

Selain itu ada Instalasi pipa bawah laut 8” sepanjang 17 km dari Well Head Platform Bronang ke Well Head Platform Forel dan Fasilitas pendukung lainnya. Untuk lapangan Bronang sendiri sudah berproduksi sejak tahun 2023 lalu.

Produksi migas dari lapangan Forel dan Terubuk tidak hanya menambah kontribusi Medco terhadap produksi nasional namun juga pembuktian kemampuan Indonesia yang semakin meningkat di industri hulu migas.

Amri Siahaan, Direktur & Chief Administrative Officer Medco Energi, mengungkapkan Medco melakukan inovasi dengan mengubah kapal tanker menjadi kapal pengolahan dan produksi minyak. FPSO Marlin Natuna yang memiliki kapasitas produksi 250.000 barel mampu menampung minyak

“Marlin Natuna kita sewa tapi pemiliknya diubah dari tanker menjadi production unit itu di Batam, 100% hampir 100% dikerjakan oleh putra putri Indonesia. ini pencapaian luar biasa, pencapaian pertama di Indonesia dan baru pertama kali di Indonesia,” jelas Amri dalam paparannya di booth Medco disela IPA Convex 2025, Selasa (20/5).

Migas memang masih menjadi bisnis utama Medco dalam tahun-tahun mendatang meskipun isu transisi energi terus gencar dikampanyekan masyarakat dunia. Buktinya Medco kembali memenangkan lelang blok migas untuk Beluga di tahun 2024 serta blok Amanah tahun 2023. Sebelumnya tahun 2023 proyek gas Bronang yang juga di Natuna telah rampung sehingga bisa menghasilkan tambahan produksi gas sebesar 50 MMscfd.

Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia saat peresmian produksi lapangan Forel dan Terubuk (16/5) , menyatakan bahwa rampungnya pengembangan lapangan Forel dan Terubuk adalah momen bersejarah dan jadi titik balik dalam upaya mengejar target swasembada energi.

“Ini adalah suatu momen yang bersejarah dalam perjalanan bangsa kita untuk mencapai swasembada energi nasional, yaitu peresmian Proyek Forel dan Proyek Terubuk. Saya, atas nama Pemerintah dan rakyat Republik Indonesia, menyampaikan ucapan selamat atas berhasilnya mencapai prestasi ini,” ungkap Prabowo.

Ambil bagiannya presiden dalam peresmian proyek hulu migas juga menjadi catatan positif tersendiri. Karena sudah puluhan tahun belum ada kepala negara yang meresmikan proyek hulu migas. Ini jadi signal positif bagaimana pemerintah bakal “All out” mendukung sektor migas terus bertahan ditengah gempuran dan tekanan transisi energi.

Hilmi Panigoro, President Director PT Medco Energy International Tbk (MEDC), dalam sesi Global Executive Forum IPA Convex 2025, menyatakan prioritas strategis yang ditempuh perusahaan adalah tetap di jalur pengembangan energi fosil, meskipun “tekanan” transisi energi semakin besar. Ini tidak lepas dari fakta yang ada di dunia bahwa sebesar 80% pasokan energi dunia masih bergantung pada energi fosil. “Terkait prioritas strategis, meskipun ada tekanan dari transisi energi, faktanya dunia masih 80% bergantung pada batu bara, minyak, dan gas. Dengan meningkatnya populasi global dan aspirasi masyarakat untuk kehidupan lebih baik, permintaan energi global akan terus naik,” jelas Hilmi.

Meskipun totalitas menjalankan bisnis migas, namun Medco tidak lupa untuk memastikan proses transisi energi tetap berlangsung dengan pencapaian target-target penurunan emisi.

”Kami sadar akan isu perubahan iklim. Oleh karena itu, dalam setiap langkah yang kami ambil, kami memastikan penggunaan teknologi dan pengetahuan terkini untuk meminimalkan emisi gas rumah kaca,” tegas Hilmi.

Medco sejauh ini sukses mencapai target – target penurunan emisi. Hingga tahun 2025 di scope 1 dan 2 emisi gas rumah kaca dan gas metana persentasenya turun sesuai dengan target yang dicanangkan manajemen.

Dalam kurun waktu lima tahun emisi gas rumah kaca sudah turun 30% . Target 2025 interim target sudah dicapai di awal tahun ini bahkan sebetulnya tahun lalu sudah dipenuhi.  Sementara untuk gas metana dalam lima tahun terakhir terhitunga dari 2019 telah turun 46% sehingga target penurunan emisi sudah tercapai. Penurunan emisi akan terus dikejar melalui proyek yang menurunkan emisi serta fokus pada pengurangan penggunaan BBM, gas buang (flare) serta implementasi elektrifikasi. Selain itu juga mulai diinisasi studi tentang penerapan Carbon Capture Storage (CCS).

Medco juga berkomitmen dalam meningkatkan kapasitas pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) apalagi setelah rampungnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Bali Timur dengan kapasitas 2×25 Megawatt (MW) maka persentase kapasitas pembangkit EBT mencapai 26% dari tahun sebelumnya 23% dan akan terus tumbuh menjadi 30% di tahun 2030. (RI)