JAKARTA – Pemerintah kembali memberikan insentif bagi para pelaku usaha batu bara. Tidak tanggung-tanggung para pelaku usaha tidak perlu membayar royalti (royalti 0%). Namun insentif tersebut memiliki syarat, yaitu pelaku usaha harus menjalankan hilirisasi batu bara.

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 lalu.

Dengan melakukan pengembangan dan pemanfaatan batu bara, perusahaan tambang batu bara mendapatkan perlakukan tertentu seperti iuran produksi atau royalti 0%.

Dalam Pasal 39 Perppu tersebut disebutkan bahwa untuk UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba disisipkan satu Pasal, yakni Pasal 128A yang berbunyi:

Ayat (1) Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi yang melakukan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128.

Ayat (2) Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan Pengembangan dan atau Pemanfaatan Batu bara dapat berupa pengenaan iuran produksi/royalti sebesar 0% (nol persen).

Pemberian fasilitas royalti 0% diharapkan mampu memberikan angin segar terhadap hilirisasi batu bara. Seperti diketahui ada beberapa proyek hilirisasi yang kini sedang digarap. Salah satu yang paling besar adalh proyek Demithyl Ether (DME) yang dikerjakan oleh PT Bukit Asam Tbk bekerja sama dengan Pertamina dan Air Product.

Di sisi lain insentif yang baru saja diberikan menambah daftar karpet merah yang terhadap pelaku usaha yang kini sedang menikmati tingginya harga batu bara.

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI, prihatin melihat ketimpangan yang terjadi akibat kenaikan harga jual batu bara di pasar internasional. Dengan kenaikan harga ini para pengusaha dapat keuntungan ratusan triliun sementara pemerintah daerah penghasil batu bara hanya mendapat royalti sebesar puluhan miliar.

Salah satu contohnya adalah peningkatan kekayaan pengusaha batu bara Low Tuck Kwong. Kekayaannya langsung bertambah ratusan triliun akibat kenaikan harga batu bara internasional. Sementara nasib rakyat di lokasi tambang milik Low Tuck Kwong masih memperihatinkan.

Ia khawatir ketimpangan ini akan menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat daerah tempat perusahaan tambang batu bara tersebut berada.

Karena itu Mulyanto mendesak Pemerintah menata ulang semua aturan bisnis batu bara ini dengan baik. Jangan sampai aturan  yang ada hanya menguntungkan dan melindungi segelintir pengusaha saja.

“Sementara pemerintah daerah hanya mendapat remah-remah hasil penjualan sumber daya alam miliknya. Kejadian ini tentu akan melukai rasa keadilan masyarakat,” kata Mulyanto (2/1).

Mulyanto minta Pemerintah meningkatkan pajak progresif dan menerapkan pembagian royalti yang lebih proporsional dan adil kepada daerah. Hal tersebut sangat logis karena pemerintah daerah yang akan menanggung semua dampak kerusakan lingkungan atas eksploitasi batu bara yang dilakukan para pengusaha.

“Dengan booming harga batubara dunia, secara langsung melejitkan saham dan kekayaan pengusaha batubara. Sementara dampak lingkungan dan sosial bagi masyarakat sekitar tambang malah membuat mereka menjerit,” ujar Mulyanto.

Pemerintah segera mengatasi ketimpangan ini sebelum masalahnya melebar ke urusan yang lebih luas. Dia mengingatkan urusan royalti ini sangat sensitif. “Karena terkait dengan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah penghasil sumber daya alam,” ungkap dia. (RI)