JAKARTA – PT Pupuk Indonesia mengaku masih kekurangan pasokan gas. Padahal gas adalah bahan baku utama pembuatan pupuk, khususnya untuk urea. Aas Asikin Idat, Direktur Utama Pupuk Indonesia, mengatakan anak-anak usaha Pupuk Indonesia selama ini masih kesulitan untuk mendapatkan pasokan gas secara optimal. Kalaupun dapat, volumenya masih sedikit sehingga berpengaruh terhadap kemampuan produksi pupuk.

“Kebutuhan untuk Pupuk Iskandar Muda, dua pabrik 110 juta kaki kubik per hari (MMSCFD), alokasinya hanya sekitar 30 MMSCFD. Gasnya masih ambil spot, pabrik cuma jalan setengah,” kata Aas disela Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR, Kamis (5/12).

Menurut Aas, ada kendala dalam kontrak jual beli gas dengan PT Pertamina (Persero). Untuk itu, Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) dengan Pertamina harus segera diefektifkan, sehingga Pupuk Iskandar Muda dapat mengoperasikan dua pabriknya.

Berdasarkan data Pupuk Indonesia, tidak hanya PIM, Pupuk Kujang juga mengalami kekurangan pasokan untuk dua pabrik sebesar 101 MMSCFD. Pada tahun ini dan 2020 kekurangan pasokan 10 MMSCFD. Kemudian kekurangan pasokan diprediksi meningkat menjadi 25 MMSCFD pada 2021.

Permasalahan yang sama juga dialami PT Petrokimia Gresik yang kekurangan pasokan 12 MMSCFD pada tahun ini. Pada 2020, kekurangan pasokan gas bisa mencapai 8 MMSCFD. Meskipun pada 2021  diprediksi pasokan gas bisa terpenuhi, tapi setahun kemudian justru kekurangan pasokan makin menjadi hingga 34 MMSCFD dan menjadi 44 MMSCFD pada 2023.

Kontrak gas dari HCML MDA-MBH untuk proyek Amorea II dengan volume 85 MMSCFD belum efektif sehingga Petrokimia Gresik sementara mendapatkan dari beberapa sumber dengan harga mahal.

“Apabila proyek HCML MDA-MBH belum ada kepastian maka diusulkan mendapatkan alokasi gas dari Lapangan Jambaran Tiung Biru, Alastua, dan Cendana dengan harga sesuai keekonomian pabrik,” ungkap Aas.

Ratna Juwita Sari, anggota Komisi VII DPR, mendorong optimalisasi konsumsi gas untuk kebutuhan industri dalam negeri, salah satunya untuk industri pupuk dan petrokimia. Sebab, industri tersebut termasuk industri yang mengkonsumsi gas dalam jumlah besar.

“Kita ini sebenarnya menghasilkan banyak untuk gas, yang harusnya bisa dioptimalkan untuk konsumsi domestik. Kalau masih defisit, bagaimana caranya ekspor bisa ditekan,” kata Ratna.

Menurut dia, selain pasokan hal lain yang harus disoroti adalah terkait harga gas. Pemerintah diminta bisa menekan harga agar industri tersebut mendapatkan angka yang lebih efisien yang pada akhirnya memperkuat ketahanan pangan nasional.

“Kebijakan harga, kalau melihat skema yang disampaikan produsen pupuk, Indonesia mematok harga yang lebih tinggi dibandingkan negara lain. Apakah ada kemungkinan menekan harga tanpa mengorbankan sisi yang lain?,” kata Ratna.(RI)