JAKARTA – Pemerintah meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung Cirata yang berlokasi di Waduk Cirata, Jawa Barat berkapasitas 145 MW(ac) atau 192 MW(p), Kamis(9/11/2023). Dengan peresmian PLTS terapung di Cirata ini, kini Indonesia menjadi lokasi PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara, yang sebelumnya dipegang oleh PLTS terapung Tengeh di Singapura.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pengoperasian PLTS terapung Cirata menjadi tonggak akselerasi pengembangan pembangkit listrik tenaga surya berskala besar di Indonesia yang praktis mati suri sejak 2020. Seiring dengan semakin menurunnya biaya investasi PLTS, maka menjadikannya sebagai pembangkit energi terbarukan termurah saat ini. Indonesia harus mengoptimalkan potensi teknis PLTS yang mencapai 3,7 TWp sampai dengan 20 TWp untuk mendukung tercapainya target puncak emisi sektor kelistrikan di 2030, dengan biaya termurah.

IESR juga mendorong pemerintah dan PT PLN (Persero) untuk memanfaatkan potensi teknis PLTS terapung yang mencapai 28,4 GW dari 783 lokasi badan air di Indonesia untuk akselerasi pemanfaatan PLTS. Data Kementerian ESDM menunjukkan adanya potensi PLTS terapung skala besar yang dapat dikembangkan setidaknya di 27 lokasi badan air yang memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dengan total potensi mencapai 4,8 GW dan setara dengan investasi sebesar USD 3,84 miliar (Rp55,15 triliun). Pemanfaatan potensi PLTS terapung ini akan mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan dan meraih target net zero emission (NZE) lebih cepat dari tahun 2060.

Pemerintah dan PLN harus mengoptimalkan potensi PLTS terapung dengan menciptakan kerangka regulasi yang menarik minat pelaku usaha untuk berinvestasi di pembangkit ini. Salah satunya, dengan memberikan tingkat pengembalian investasi sesuai profil risiko tetapi menarik dan mengurangi beban tambahan dalam mengelola investasi.

Selain itu, pemerintah perlu memperhatikan skema penugasan PLN kepada anak perusahaannya, yang selama ini menjadi opsi prioritas pengembangan PLTS terapung. Melalui skema ini, anak perusahaan mencari pihak yang bersedia untuk berinvestasi atau equity investor untuk kepemilikan minoritas tetapi harus mau menanggung porsi equity yang lebih besar melalui pinjaman pemegang saham (shareholder loan).

“Skema ini menguntungkan PLN, tetapi memangkas pengembalian investasi bagi investor dan beresiko pada bankability proyek dan minat pemberi pinjaman. Skema ini juga dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat di antara para pelaku usaha, karena hanya mereka yang punya ekuitas besar saja yang bisa bermitra dengan PLN, dan mayoritas investor asing. Hal ini dapat berdampak pada minat investasi secara keseluruhan,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, dalam keterangannya.

Fabby mengatakan perlunya dukungan pemerintah dengan cara memperkuat permodalan PLN dan anak perusahaannya melalui penyertaan modal negara (PMN) khusus untuk pengembangan energi terbarukan, dan/atau memberikan pinjaman konsesi kepada PLN melalui PT SMI yang kemudian dapat dikonversi sebagai kepemilikan saham pada proyek PLTS terapung.

Indonesia dapat meraup potensi investasi dan listrik yang rendah emisi dari PLTS terapung dengan dukungan regulasi yang pasti dan mengikat dari pemerintah. Pada Juli 2023, pemerintah telah menerbitkan Permen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Nomor 27/PRT/M/2015 Tentang Bendungan yang tidak lagi membatasi luasan badan air di waduk yang dapat dimanfaatkan untuk PLTS terapung di angka 5%. Peraturan tersebut membuka peluang pengembangan PLTS terapung dengan skala yang lebih besar, dengan catatan bila menggunakan luasan badan air lebih dari 20%, perlu mendapatkan rekomendasi dari Komisi Keamanan Bendungan.

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, memandang hal ini menjadi salah satu peluang untuk mengatasi permasalahan lahan dalam pengembangan PLTS.

“Ketersediaan lahan kerap menjadi hambatan dalam pengembangan PLTS, terutama di wilayah yang sudah padat dengan harga lahan tinggi, juga tutupan lahan yang bisa jadi tidak sesuai untuk PLTS, misalnya terlalu curam atau merupakan lahan pertanian produktif. Indonesia juga memiliki cukup banyak bendungan, baik dengan PLTA atau tidak, yang bisa digunakan sebagai lokasi potensial. Proyek Hijaunesia 2023 misalnya, telah menawarkan pengembangan PLTS terapung di Gajah Mungkur, Kedung Ombo, dan Jatigede dengan kapasitas masing-masing 100 MW,” ujar Marlistya.

Meski demikian, menurut Marlistya, keseluruhan proses perencanaan, pelelangan, hingga pembangunan PLTS terapung di Indonesia masih perlu ditingkatkan efektivitasnya. Meski menjadi flagship project dan bentuk kerjasama antar pemerintah (G2G), lini masa penyelesaian PLTS terapung Cirata cukup panjang – diawali dengan nota kesepahaman Indonesia dan Uni Emirat Arab pada 2017 dan pembentukan joint venture PJB Investasi dengan Masdar di tahun yang sama. Penandatanganan PJBL baru dilakukan di 2020 dan financial closing di 2021. Panjangnya proses ini mengurangi daya tarik investasi PLTS terapung di Indonesia.

Pengembangan rantai pasok komponen PLTS dan PLTS terapung di Indonesia juga terbuka lebar, termasuk untuk sel dan modul surya. Tidak hanya untuk pasar dalam negeri yang saat ini belum mencapai 1 GW, sel dan modul surya dengan kriteria tier 1 yang diproduksi di Indonesia juga ditujukan untuk pasar mancanegara. Pabrikan sel dan modul surya tier 1 asal Tiongkok, Trina Solar, telah bekerja sama dengan Sinarmas untuk membangun pabrik sel dan modul surya terintegrasi di Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah dengan kapasitas produksi 1 GW/tahun.(RA)