JAKARTA – PT Pertamina (Persero) sudah menyadari akan adanya transisi energi salah satunya adalah konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional diperkirakan akan mencapai puncak pada 2046 dan akan terus turun setelahnya.

Hery Haerudin, Vice President Pertamina Energy Institute (PEI), menuturkan untuk mengantisipasi hal tersebut, Pertamina mengintegrasikan seluruh kilangnya dengan fasilitas produksi petrokimia.

Dia menjelaskan ada tiga skenario transisi energi yang disusun, yakni Low Transition, Market Driven, dan Green Transition. Hery menyatakan konsumsi minyak akan mencapai puncak sebelum tahun 2050 seiring penetrasi penggunaan kendaraan listrik.

“Kebutuhannya akan turun dari 780 juta barel setara minyak menjadi 215 juta barel setara minyak. Sebaliknya, energi baru terbarukan akan meningkat signifikan,” kata Hery belum lama ini di Jakarta.

Dalam kalkulasi PEI, konsumsi BBM juga diperkirakan akan mencapai puncak sebelum tahun 2050, dan setelahnya akan terus turun. Untuk bensin, puncak konsumsi sekitar 40 juta kiloliter (KL) paling cepat akan terjadi pada 2026 pada skenario Green Transition, serta paling lambat pada 2046 pada skenario Low Transition dengan volume di kisaran 60 juta KL. Sementara konsumsi solar cukup akan mencapai puncak di kisaran 50 juta KL pada 2049 dan akan turun setelahnya.

“Konsumsi avtur akan terus naik seiring kebijakan untuk membuka kawasan ekonomi baru dan daerah tujuan wisata, kemudian akan mencapai puncak pada 2060,” ujar Hery.

Hery memperkirakan konsumsi BBM akan kembali pulih pasca pandemi COVID-19 atau seperti sebelum masa pandemi pada 2023. Sementara konsumsi avtur akan kembali normal pada 2024-2025. Namun, proyeksi ini masih tergantung pada perkembangan pandemi yang masih berlangsung.

PEI memproyeksikan konsumsi gas minyak cair (liquefied petroleum gas/LPG) akan mencapai puncak pada 2025-2027 berdasarkan pada skenario Market Driven dan Green Transition. Hanya saja proyeksi tersebut sangat tergantung pada progress pengembangan jaringan gas kota (jargas) serta pemanfaatan kompor listrik yang masif dan dimetil eter (DME).

“Sektor rumah tangga ini sangat penting dalam transisi energi. Dalam skenario Market Driven dan Green Transition, impor LPG bisa dihentikan, bahkan terjadi surplus LPG,” ungkap Hery.

PEI dalam memproyeksikan kebutuhan energi tersebut mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional dan masyarakat penggunanya. Dalam proyeksi jangka pendek, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai 3,63% pada tahun ini dan menyentuh 4,55% pada tahun depan. Tetapi untuk jangka panjang, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi akan turun menjadi sekitar 2% pada 2060.

“Penurunan ini terjadi sebagai akibat melambatnya pertumbuhan tingkat produktivitas dan konsumsi yang sejalan dengan laju peningkatan populasi,” kata Hery. (RI)