JAKARTA – Langkah untuk pengurangan produksi menjadi jalan terbaik bagi para pelaku usaha tambang batu bara agar operasi hingga akhir tahun tidak terus merugi. Melalui langkah itu diharapkan harga batu bara menjadi lebih stabil.

Rizal Kasali, Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi), mengatakan  kondisi saat ini ada ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan (demand). Ini tidak lepas dari anjloknya permintaan batu bara dari dua konsumen utama dunia dan Indonesia, yakni China dan India.

“Pengurangan produksi saat ini menjadi opsi yang harus dilakukan mengingat ketidakseimbangan antara supply dan demand di pasar dunia, terutama dari negara pemakai batu bara terbesar seperti China dan India,” kata Rizal, Selasa (28/7).

Menurut Rizal, kedua negara tersebut lebih mementingkan produksi batu bara dalam negeri. Adapun negara yang menjadi tujuan ekspor lainnya, seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan juga mengalami penurunan permintaan. Upaya pemerintah untuk mencari alternatif tujuan ekspor batu bara yang baru juga tidak akan efektif dalam menggenjot produksi.

“Mencari market baru juga solusi, namun tidak berpengaruh banyak karena tidak bisa mengkompensasi demand dari tujuan ekspor yang besar seperti China dan India,” kata dia.

Pemerintah mengklaim sedang melakukan penjajakan untuk melakukan ekspor ke beberapa negara berkembang lainnya. Beberapa negara menjadi incaran sebagai tujuan ekspor seperti Vietnam, Bangladesh, dan Pakistan.

Beberapa hal lain juga masih bisa dilakukan para pelaku usaha di antaranya melakukan efisiensi, khususnya yang langsung berhubungan dengan operasional, misalkan penurunan Striping Ratio (SR), memperpendek jarak angkut dan lain-lain.

Pemerintah juga telah menurunkan tingkat produksi dari 600 juta ton pada 2020 menjadi 550 juta ton.

Rizal mengatakan beberapa perusahaan akan mengajukan revisi Rencana Kerja Anggaran dan Belanja (RKAB) 2020 untuk penyesuaian tingkat produksinya di tahun 2020.

Padahal dari sisi kemampuan produksi sebenarnya Indonesia tidak memiliki masalah berarti, terutama dikatikan dengan operasional ditengah pandemi Covid-19, karena perusahaan telah melakukan lockdown dan menerapkan prosedur yang ketat untuk penularan covid-19 ini di semua site operasinya. Dari sisi permintaan yang terpengaruh karena adanya lockdown dan pemberhentian operasional pabrik-pabrik di negara tujuan ekspor batu bara Indonesia.

Menurut Rizal, ada informasi dari Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) yang telah meminta adanya pengurangan produksi sebesar 50 juta ton pada 2020 kepada pemerintah sebagai upaya menstabilkan harga ke tingkat yang wajar.

“Kami memperkirakan produksi akan berada di kisaran 500 – 520 juta ton utk tahun 2020. Hal ini juga dipengaruhi oleh penurunan pemakaian batubara dalam negeri (DMO),” ujar Rizal.

Arifin Tasrif, Menteri ESDM, menyatakan anjloknya konsumsi batu bara tentu tidak diharapkan lantaran batu bara selama ini menjadi salah satu penopang utama Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor minerba.

Pada 2019, minerba menyumbang PNBP sebesar Rp44,8 triliun diatas target yang ditetapkan sebesar Rp43,3 triliun.

“Maka langkah yang kami lakukan adalah  hilirisasi harus didiorong secara cepat dan pemanfaatan batu bara untuk dukung kebutuhan listrik di dalam negeri,” kata Arifin.(RI)