SENYUM. Ratusan orang di pagi itu serentak melakukannya. Tanpa dikomando, mereka semua tersenyum. Mata mereka berbinar, tertuju ke panggung besar Indonesia Petroleum Association (IPA) Convention and Exhibition (Convex) 2023. Peristiwa bersejarah bagi industri hulu migas Indonesia terjadi di sana pada selasa pagi (25/7). PT Pertamina (Persero) secara resmi menjadi bagian dari proyek Abadi Gas Masela. Bersama dengan Petronas, Pertamina mengakuisisi hak partisipasi (Participating Interest / PI) milik Shell Upstream Overseas Services (I) Limited (SUOS) yang dilepas dengan harga mencapai US$650 juta.

Pertamina melalui Subholding Upstream, Pertamina Hulu Energi (PHE) memiliki 20% hak partisipasi dan 15% lainnya dimiliki oleh Petronas Masela Sdn. Penandatanganan perjanjian jual PI proyek Masela dilakukan langsung oleh Direktur Utama PHE Wiko Migantoro, Naib Presiden Eksekutif & Ketua Pegawai Eksekutif Huluan PETRONAS, Datuk Adif Zulkifli, dan Director Finance for Acquisition Divestment and NBD Asia Pacific Shell Kuo Tong Soo. Pertamina dan Petronas pun kini menjadi bagian dari konsorsium yang baru bersama dengan sang operator Inpex Corporation.

Senyuman para stakeholder industri migas pada pagi itu bukan tanpa alasan. Ada harapan besar dibalik senyuman itu. Harapan akan kembalinya kedigdayaan industri migas nasional. Apalagi kali ini ada keterlibatan perusahaan migas pelat merah. Pertamina menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan terlibat dalam salah satu proyek migas paling prestisius sepanjang sejarah Indonesia maupun dunia bukanlah mimpi.

Proyek Abadi Masela ini hampir saja menjadi benar-benar abadi, lantara tidak kunjung dieksekusi selama puluhan tahun. Lika-liku perjalanan proyek ini bermula saat ditemukannya cadangan gas dengan jumlah fantastis lebih dari dua dekade lalu atau tepatnya di tahun 2000 oleh Inpex Masela Ltd anak perusahaan Inpex Corporation asal Jepang yang melakukan eksplorasi sejak mereka mendatangani Production Sharing Contract (PSC) pada 16 November 1998 dengan melakukan pemboran di Sumur Abadi-1 . Total cadangan gas yang siap diproduksi dalam temuannya kala itu mencapai 6,97 Triliun Cubic Feet (TCF) dan rencananya akan dibangun satu unit train Liquefied Naturan Gas (LNG). Seiring berjalannya waktu, ternyata jumlah cadangan gas Masela direvisi alias meningkat signifikan menjadi 10,74 TCF. Inpex berencana untuk memproduksi LNG sebanyak 7,5 Metrik Ton per Tahun kala itu, naik dari rencana awal yang hanya 2,5 Metrik Ton per Tahun.

Selain itu, Inpex juga akhirnya tidak sendiri dan menggandeng Shell, rakasasa migas asal Belanda dengan pembagian hak partisipasi atau Participating Interest (PI) proyek Masela menjadi 65% dikuasai Inpex dan sisanya 35% dikuasai oleh Shell. Konsorsium itu akhirnya mengajukan revisi Rencana Pengembangan atau Plan of Development (POD) ke pemerintah dengan adanya penambahan cadangan sehingga ingin membangun tiga train LNG di laut atau offshore.

Di sinilah awal mula lika-liku pengelolaan Masela dimulai. Karena setelah melalui berbagai kajian, pada tahun 2016 pemerintah akhirnya menetapkan skema pengelolaan gas di proyek Abadi Masela harus di darat atau onshore atau dengan kata lain para kontraktor wajib membangun pabrik pengolahan LNG-nya di darat. Pemerintah menilai pembangunan pabrik LNG di darat memberikan efek berganda atau multiplier effect kepada masyarakat jauh lebih besar ketimbang membangunnya di laut.

Perubahan skema pengembangan tersebut tentu berdampak pada jadwal penyelesaian proyek. Pada tahun 2017 Inpex akhirnya mengajukan perpanjangan kontrak yang bakal habis tahun 2028 selama 20 tahun. Pemerintah langsung memberikan persetujuan perpanjangan kontrak. Setelah itu pemerintah memberikan persetujuan revisi POD pada tahun 2019 dengan rencana produksi LNG sebesar 9,5 Metrik Ton per Tahun dan gas melalui pipa dengan volume 150 juta kaki kubik per hari (MMscfd). Tapi sayangnya, berbagai persetujuan termasuk insentif yang telah diberikan ternyata tidak membuat proyek ini jalan. Justru Shell memutuskan menarik diri dari proyek Abadi.

Tidak dimungkiri banyak pihak terkejut dengan keputusan Shell itu. Bagaimana tidak, nasib proyek gas terbesar yang ada dalam sejarah industri migas Indonesia dan ditargetkan jadi tulang punggung pasokan gas dalam beberapa puluh tahun ke depan terancam mangkrak, lantaran tadinya Shell akan menjadi motor pengembangan Masela yang memiliki karakteristik migas laut dalam. Teknologi yang dikuasai Shell diyakini sudah terbukti mampu menarik gas dari dalam perut bumi di dasar laut dalam.

Awan gelap seakan-akan langsung datang menyergap. Industri migas Indonesia yang sedang berusaha bangkit justru mendapat tamparan keras dengan hengkangnya Shell dari proyek sebesar Masela. Ditengah kebingungan serta pertanyaan apakah proyek ini bisa berlanjut atau tidak, tiba-tiba kondisi langsung berubah drastis. Mungkin peribahasa habis gelap terbitlah terang cocok disematkan ketika Pertamina dipastikan bakal ambil bagian di proyek Masela dengan mengambil alih PI blok Masela dari Shell.

Rekam jejak Pertamina yang sudah mengelola berbagai ladang migas di tanah air dalam berbagai kondisi memunculkan harapan baru bahwa proyek Abadi Masela akan kembali berlanjut dan gas yang ada bisa dimonetisasi.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, menyatakan peluang untuk bisa ikut mengelola blok Masela tidak akan datang dua kali, karena itu Pertamina sangat antusias ketika mendapatkan kesempatan tersebut. Menurut dia blok Masela akan sangat berdampak besar dalam upaya Pertamina memenuhi pasokan energi nasional.

“Selain mengelola lapangan eksisting maka diperlukan strategi untuk mengembangkan lapangan baru, salah satunya adalah Lapangan Abadi di Blok Masela,” kata Nicke usai penandatanganan pengalihan PI proyek Masela.

Keinginan pemerintah agar proyek Masela berdampak bagi masyarakat sekitar operasi juga menjadi fokus Pertamina. Nantinya proyek Abadi Blok Masela diproyeksi bisa menyerap hingga 10.000 tenaga kerja. Pengembangan Blok Masela diharapkan dapat membantu percepatan pengembangan area lokal sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru dan dapat menyerap tenaga kerja lokal. Hal ini tentunya akan berdampak langsung pada pengembangan ekonomi di wilayah Indonesia Timur.

Pertamina kata Nicke siap menjawab permintaan pemerintah untuk mendorong percepatan pengembangan blok Masela. Setelah resmi menjadi bagian konsorsium maka tahap selanjutnya adalah melakukan Front End Engineering Design (FEED) sehingga bisa segera menyerahkan revisi POD I yang tenggat waktunya akan habis pada 2024. Untuk diketahui nantinya dalam revisi POD tersebut akan juga dimasukkan rencana penerapan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).

“Komitmen Pertamina setelah tanda tangan ini akan dengan cepat lakukan pengembangan. Sebelum FID kita harus selesaikan FEED. Itu butuh paling waktu dua tahun. 2026-2027 sudah bisa FID (Final Investment Decision), abis itu langsung jalan. Pemerintah minta akselerasi dari seluruh proses supaya lebih cepat,” ungkap Nicke.

Pemerintah kata Nicke berharap proyek Masela bisa onstream pada tahun 2029. “Tantangan yang luar biasa. Target awal 2031-2032. Kita berupaya bersama untuk akselerasi,” ujar Nicke.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menuturkan selama tiga tahun sejak Shell menyatakan akan mundur tidak ada kemajuan proyek yang berarti. Untuk itu Pertamina dan Petronas diharapkan mampu mengisi gap yang ditinggalkan oleh para kontraktor di Masela selama tiga tahun tersebut. “Sudah lama tidak ada statusnya, nggak beres-beres padahal target mengalir gas tahun 2027. Paling ngga dengan masuknya Pertamina dan Petronas mampu mengisi gap yang ada,” ungkap Arifin ditemui di Kementerian ESDM belum lama ini.

Pemerintah kata Arifin memang menaruh harapan besar terhadap formasi konsorsium baru di Masela. Masuknya Pertamina sebagai BUMN juga diharapkan bisa mengakselerasi berbagai proses yang harus ditempuh konsorsium blok Masela. Keberadaan gas Masela menurut Arifin sangat krusial dalam rangka memenuhi target produksi gas tahun 2030. “Pemerintah berharap target tahun 2030 produksi gas 12 BCFD bisa tercapai, 30 Desember 2029 sudah berproduksi paling lambat,” ungkap Arifin.

 

Siap Menjawab Tantangan

Makin tinggi pohon makin kencang angin menerpa. Makin berkibar Pertamina di industri migas tetap ada juga anggapan skeptis kemampuan Pertamina untuk berperan dalam pengelolaan blok Masela. Ada saja yang mempertanyakan fungsi dan kontribusi Pertamina dalam proyek sekaliber Masela. Padahal jika ditelisik lebih dalam saat ini Pertamina menjadi penyumbang terbesar produksi migas nasional melalui pengelolaan blok-blok migas raksasa di tanah air. Praktis hanya Lapangan Banyu Urip dan Tangguh saja blok raksasa yang sekarang dikelola kontraktor asing yaitu Exxon dan BP. Sisanya, blok Offshore North Java (ONWJ), Offshore Southeast Sumatera (OSES), West Madura Offshore (WMO), Sangasanga, East Kalimantan, Rokan, Mahakam maupun lapangan gas terbesar di Pulau Jawa, Jambaran Tiung Biru (JTB) kini dikuasai dan dikelola oleh Pertamina.

Nanang Abdul Manaf, Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) mengungkapkan tantangan pengembangan Masela memang tidak bisa dianggap sebelah mata. Keterbatasan infrastruktur akan menjadi salah satu yang harus dihadapi. Namun dia yakin dengan pengalaman yang dimiliki Pertamina, tantangan itu bisa dilalui, termasuk dalam penerapan teknologi yang nanti akan diaplikasikan di Masela. Nanang yakin Pertamina telah memitigasi dan memiliki rencana untuk mengatasi berbagai tantangan dalam pengelolaan Masela.

“Kita tahu kalau sebelumnya LNG plant ini kan Indonesia pertama di dunia yang bangun, di Bontang, Arun ada juga, di Donggi dan Tangguh jadi harusnya dari sisi teknologi sudah bukan masalah bagi Indonesia, kita pertama bangun LNG plant hanya Masela posisinya di lautan ini tantangannya, banyak hal terutama operasikan EPC di laut sampai di pulau. Pertamina sudah mempersiapkan dan tidak ada isu dengan tidak terlibatnya Shell di Masela,” jelas Nanang kepada Dunia Energi.

Berdasarkan informasi yang diterima Dunia Energi, Pertamina, Petronas dan Inpex selama bulan Agustus 2023 akan secara intensif bertemu membahas berbagai aspek pengelolaan blok Masela sehingga bisa segera menyodorkan revisi POD.

Yuzaini Bin Md Yusof, President Indonesia Petroleum Association (IPA), menyambut baik kemitraan yang terjalin antara Pertamina dan Petronas. Yuzaini yang juga Presiden Direktur Petronas Indonesia berharap dengan masuknya Badan Usaha Miik Negara (BUMN) dari Indonesia dan Malaysia bisa memperkuat kerjasama untuk bisa memonetisasi cadangan gas yang ada di Masela.

“Ini adalah salah satu cara untuk kolaborasi antara international company dan perusahaan BUMN macam Pertamina bersama dengan Petronas untuk Masela. Jadi kemitraan itu akan menyebabkan adanya potensi untuk kolaborasi dari segi teknologi dan dari segi perusahaan ini yang kami inginkan ialah investasinya cepat untuk memonitasinya,” ungkap Yuzaini.

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI, menyambut baik keterlibatan perusahaan milik negara dalam pengelolaan blok Masela, karena secara langsung nantinya akan ada kepastian pasokan gas dari dalam negeri yang dikuasai juga oleh negara melalui BUMN.

“Karena secara langsung porsi nasional (BUMN) dalam produksi gas akan meningkat. Sekarang ini produksi minyak dalam negeri sebanyak lebih dari 60% sudah didominasi oleh Pertamina.  Sementara untuk produksi gas kontribusi Pertamina masih dibawah 40%,” jelas Mulyanto kepada Dunia Energi.

Mulyanto berharap banyak kepada Pertamina bisa mendorong para anggota konsorsium bergerak lebih cepat untuk memonetisasi cadangan gas Masela. “Dengan akuisisi blok ini, maka diharapkan proyek eksploitasi gas segera beroperasi, sehingga meningkatkan penerimaan negara baik pusat maupun daerah,” kata Mulyanto.

Sumber : Kementerian ESDM

Harapan besar banyak pihak kepada produksi gas Masela memang bukan tanpa alasan. Di tengah era transisi energi seperti sekarang, gas menjadi solusi utama karena ditengah persiapan penyediaan pembangkit berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT), gas dinilai paling cocok digunakan saat masa transisi ini karena memiliki emisi paling sedikit dibandingkan dengan energi fosil lainnya seperti batu bara atau minyak bumi.

Salah satu konsumen utama gas ke depan adalah industri smelter yang kini jumlahnya terus meningkat seiring dengan hilirisasi mineral yang digenjot pemerintah.

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, menegaskan gas Masela dipersiapkan untuk bisa memenuhi kebutuhan industri termasuk smelter yang sangat besar. Menurut dia, Masela nanti akan mengisi kebutuhan banyak industri smelter. Seperti misalnya smelter untuk Vale Indonesia yang saat ini tengah menggarap dua proyek hilirisasi nikel di Bahadopi dan Pomala. Kedua pabrik smelter di sana akan menggunakan gas. “Ini sudah kita bahas kalau Vale sudah kita secure supply-nya, nanti sampai 2030 dari Tangguh sesudah itu dari Masela (gas) masuk,” ungkap Dwi.

Sementara itu, Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menuturkan masuknya Pertamina benar-benar memberikan gairah baru serta angin segar bagi kelanjutan proyek Masela yang molor beberapa tahun. Dia menilai belum tentu ada perusahaan lain yang juga masuk di Masela seandainya tidak ada Pertamina. “Ada kepastian segera jalan karena sempat terkatung katung, kalau Pertamina nggak masuk sulit juga menggandeng pihak lain,” ujar Komaidi.

Dengan berlanjutnya proyek Masela maka Indonesia bisa bernafas lega lantaran pasokan gas domestik aman dalam jangka waktu yang cukup lama nanti saat gas sudah mulau menyembur.

Komaidi juga menilai Pertamina sudah berpengalaman di operasional hulu migas sehingga untuk urusan teknologi yang sempat dikhawatirkan tidak lagi menjadi isu. Ini dibuktikan dengan kesuksesan Pertamina dalam mengelola lapangan-lapangan migas besar.

“Pertamina menghandle lapangan besar misalkan Mahakam, Rokan ada yang lain juga telah berhasil dikelola. Teknologi bisa beli sehingga kalau jadi issued tidak terlalu utama karena bisa dibeli dari tempat lain, kan ini konsorsium petronas, inpex punya link punya kapasitas,” jelas Komaidi.

Blok Masela akan jadi pertaruhan besar Pertamina dalam menjawab tantangan pengelolaan migas di tanah air. Setelah Mahakam dan Rokan, Masela akan jadi panggung baru bagi Pertamina menunjukkan tajinya kepada dunia sekaligus membuktikan bahwa Indonesia bisa mengelola sumber daya alam-nya sendiri. Pertamina jadi tuan rumah di rumah sendiri? Siapa Takut!