JAKARTA – PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) hingga september 2023 mencatatkan pendapatan US$4,98 miliar atau turun 16% jika dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yaitu US%5,91 miliar.

Penurunan harga komoditas batu bara turut menekan harga komoditas batu bara. Untuk sembilan bulan tahun ini Adaro sebenarnya sukses meningkatkan penjualan batu bara sebesar 11% menjadi 49,12 juta ton serta produksi yang mencapai 50,37 juta ton. Sayangnya harga jual rata-rata batu bara turun 25% dibandingkan periode sebelumnya.

Sementara untuk EBITDA tercatat sebesar US$1,944 miliar yang juga turun sebesar 49% jika dibandingkan realisasi pada tahun lalu sebesar US$3,79 miliar.

Sementara untuk laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk US$1,21 miliar sampai 30 September tahun ini. Lebih kecil 36% dari US$1,90 miliar pada periode yang sama tahun lalu.

Garibaldi Thohir, Presiden Direktur dan CEO Adaro, menjelaskan meskipun menghadapi penurunan harga dan tekanan biaya karena inflasi, model bisnis kami yang terintegrasi tetap berkinerja baik.

“Kami berada di posisi yang baik untuk mencapai target full year 2023 berkat dukungan eksekusi yang baik di setiap bisnis. Kami juga berada di tempat yang tepat untuk ambil bagian pada inisiatif hilirisasi Indonesia, yang menekankan komitmen kami terhadap pertumbuhan berkelanjutan di jangka panjang,” kata Garibaldi dalam keterangannya, Selasa (1/11).

Kemudian beban pokok pendapatan meningkat dari US$2,54 miliar menjadi US$2,99 miliar per akhir September 2023.

Biaya penambangan dan biaya pengolahan batu bara juga naik karena adanya kenaikan volume. Pengupasan lapisan penutup naik 25% menjadi 217,43 juta bcm, dan nisbah kupas tercatat sebesar 4,29x, atau naik 12% dari periode hingga September tahun lalu.

Untungnya setoran untuk negara tidak mengalami penurunan. Adaro tercatat menyetor royalti sebesar US$1,17 miliar atau naik 33% jika dibanding tahun lalu. (RI)