JAKARTA – Kesadaran dan kontribusi generasi muda diyakini menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan dalam pengendalian perubahan iklim. Generasi muda seperti mahasiswa yang sadar dan cerdas iklim dapat menjadi aktor dan berperan aktif dalam agenda – agenda pengendalian perubahan iklim, seperti transisi energi dan penerapan pajak karbon.

Peran aktif generasi muda dalam pengendalian perubahaan iklim makin diharapkan saat melihat jumlahnya yang sangat besar di negara kita. Saat ini ada sekitar 65 juta orang (28%) penduduk Indonesia pada kategori usia 10 – 24 tahun. Merekalah yang akan menjadi angkatan kerja di era transisi energi menuju net-zero emission pada 2060. Jadi, generasi muda akan menjadi penentu dalam mempercepat transisi dari penggunaan bahan bakar berbasis fosil menjadi energi terbarukan.

Krisis iklim akibat peningkatan emisi karbon di bumi merupakan salah satu tantangan paling besar yang dihadapi umat manusia saat ini dan juga di masa depan. Dampak krisis iklim pun semakin dirasakan saat ini. Laporan yang dipublikasikan Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada Mei 2022 menyebutkan bahwa peningkatan emisi karbon dioksida selama 2021 menempatkan iklim bumi dalam kondisi yang kian terpuruk. Pada 2021, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer Bumi mencatat rekor tertinggi baru.

Hayat Mansur, Ketua Yayasan Perspektif Baru, mengatakan bahwa kita hanya punya satu bumi, dan bumi tempat kita tinggal ini tidak selamanya mampu menampung peningkatan emisi karbon yang memicu terjadinya perubahan iklim. Jadi, kita yang membutuhkan bumi hendaknya turut menjaga dengan mengurangi emisi karbon. Untuk itu, perlu upaya bersama termasuk generasi muda untuk pengendalian perubahan iklim.

“Generasi muda bisa berkontribusi di hampir semua sektor meski dalam porsi kecil, namun bila diakumulasi dapat berdampak besar terhadap pengendalian krisis iklim,” kata Hayat Mansur, dalam acara Perspektif Baru Roadshow to Campus – Hybrid Seminar dengan tema “Mitigasi Perubahan Iklim Melalui Pajak Karbon dan Energi Terbarukan”, Selasa (7/6). Penyelenggaraan ini mengambil momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang tahun ini mengangkat tema “We Have Only One Earth”.

Dalam kesempatan yang sama, Muryanto Amin, Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), menyampaikan bahwa tema yang diangkat dalam seminar ini merupakan salah satu persoalan yang menjadi fokus perhatian dunia, dimana ancaman perubahan iklim telah menimbulkan keresahan terhadap jaminan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi makhluk hidup di masa-masa mendatang. “Oleh karena itu demi mengoptimalkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), kita harus berkomitmen untuk menerapkan Tri Dharma berbasis IPTEKS untuk menjawab kompleksitas persoalan energi yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia,” ujar Muryanto.

Pajak karbon merupakan kebijakan pemerintah Indonesia demi menekan ancaman perubahan iklim. Sosialisasi kebijakan pajak karbon sangat penting untuk masyarakat luas, khususnya generasi muda dan mahasiswa demi mempercepat pembangunan ekonomi hijau di Indonesia.

Menurut Hadi Setiawan, Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, pajak karbon bertujuan untuk mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk dapat beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. Selain itu, penerapan aturan ini juga ditujukan untuk mendukung target penurunan emisi GRK dalam jangka menengah dan panjang. “Kesadaran dan peran para generasi muda akan menjadi salah satu penentu keberhasilan usaha kita bersama untuk mengendalikan dampak perubahan iklim dan mencapai target NDC pada tahun 2030 serta target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat,” ujarnya.

Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan pajak karbon akan menjadi salah satu langkah aksi dari berbagai komitmen untuk mencapai NZE. Oleh karena itu, penggunaan energi terbarukan dan konservasi energi sangat mendesak untuk disebarluaskan secara komprehensif kepada masyarakat, perguruan tinggi, mahasiswa, industri, lembaga penelitian, parlemen, pemerintah daerah dan media. “Apalagi banyak sekali sumber EBT di Indonesia yang dapat dimanfaatkan seperti misalnya energi panas bumi, bioenergi, bayu, hidro, dll, dalam rangka mengurangi penggunaan energi fosil,” kata Surya Darma.

Menurut Rianda Purba,Deputi II WALHI Sumut, krisis iklim menjadi tantangan bagi peradaban manusia saat ini, sekaligus membangkitkan pikiran kritis Komunitas Global di Seluruh Dunia untuk berpikir bagaimana aksi demi keberlanjutan bumi ini. Para politisi, ilmuwan, penulis buku dan film sains fiksi, serta animator sudah banyak menghasilkan karya terkait hal ini dan bahayanya.

Selanjutnya, sejauh mana kita sebagai masyarakat mampu mempraktekkan gaya hidup yang memperhatikan lingkungan hidup, hemat energi dan lain sebagainya untuk menghentikan atau setidaknya memperlambat terjadinya krisis iklim kepada generasi berikutnya secara adil. Dalam hal ini, peran generasi muda dan masyarakat luas sangat penting untuk mempengaruhi dan merubah kehendak para penguasa/pengambil kebijakan terhadap pertumbuhan ekonomi yang masih abai terhadap krisis iklim.

Linda Elida, Dosen FISIP – USU, menambahkan bahwa demi menjaga bumi yang hanya satu, upaya mitigasi dan adaptasi pada perubahan iklim membutuhkan kerjasama antar berbagai elemen masyarakat. Inisiatif komunitas di level pedesaan dalam mengimplementasikan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perlu mendapat apresiasi dan dukungan. “Dengan terus menerus membangun kesadaran dan pemberdayaan, serta memberi dukungan dan insentif berupa kebijakan yang pro dan peduli pada komunitas yang telah berkontribusi pada mitigasi dan adaptasi pada perubahan iklim,” ujar Linda.

Dalam hal ini peningkatan kesadaran dan pemahaman mengenai upaya mitigasi perubahan iklim melalui energi terbarukan dan pajak karbon harus dimiliki oleh generasi muda khususnya mahasiswa. Ini karena pada masa depan merekalah yang menjadi penentu upaya pengendalian perubahan iklim. Selain itu, jika terjadi krisis iklim yang makin parah maka mereka yang paling terkena dampaknya di masa mendatang.(RA)