JAKARTA – Pemerintah Indonesia diyakini makin tidak akan mendapatkan kepercayaan pelaku usaha sektor hulu migas apabila Revisi Undang-Undang Migas (RUU Migas) tidak diselesaikan pada tahun ini.

Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti, menyatakan bahwa pelaku usaha sudah sampai kepada titik jenuh menantikan adanya fundamental bisnis berbentuk UU Migas yang tidak kunjung selesai selama bertahun-tahun.

Untuk diketahui saat ini UU Migas di Indonesia yaitu UU 22 Tahun 2001 dinilai “cacat” karena telah dinyatakan harus segera direvisi oleh Mahkaman Konstitusi. Perintah tersebut keluar sejak tahun 2006 hingga 2012.

“Tanpa revisi UU Migas siapapun presidennya atau menterinya, pasti kurang kredibel dimata investor. Kalau menawarkan A B C D atau apapun tapi UU migas nggak selesai-selesai itu seperti kurang kredibel,” kata Pri Agung dalam Media Briefing jelang Indonesia Petroleum Association Convention and Exhibition (IPA Convex), Senin (10/4).

UU Migas yang sudah berumur lebih dari 20 tahun dirasakan kurang memenuhi tuntutan investasi saat ini dan yang akan datang. Diperlukan berbagai perbaikan utamanya fiscal terms dan kemudahan investasi agar Indonesia bisa bersaing dengan negara lain dalam menarik investasi di sektor Migas.

masalah migas Indonesia selalu berkutat pada tiga masalah utama yakni kepastian hukum, fiskal keekonomian serta birokrasi dan perizinan. “Berbagai upaya dilakukan sebenarnya tapi nggak bisa keluar dari situ (tiga masalah) karena akar masalah di UU. Sementara usahanya itu diawali dari UU. Upaya perbaikan tapi tak bisa keluar dari tiga aspek utama masalah itu tadi,” ungkap Pri Agung.

Masalah kepastian hukum terkait berhubungan dengan ketentuan peraturan perpajakan. UU 22/2021 telah meniadakan Lex Specialis bisnis hulu migas sehingga mengikuti peraturan perpajakan pada umumnya. Salah satu hasil dari UU Migas yang ada sekarang ada hilangnya prinsip Assume and Discharge.

Saat ini Indonesia menggunakan sistem kontrak PSC Cost Recovery dan Gross Split. Untuk itu bisa berjalan efektif diperlukan tiga elemen tadi yaitu kekonomian melalui assume and discharge, perizinan satu pintu pengursannya, dalam aspek hukum dipisahkan keuangan negara dan perusahaan.

Pri Agung menyatakan ketiga elemen itu yang membuat sistem kontrak berjalan efektif. Jika itu hilang, tidak sinkron antara sistem kontrak yang dijalankan dan regulasi yang mendasarinya sehingga dampaknya tidak ada kepastian hukum. Kepastian ekonomi terganggu, kalau perlakuan pajak beda pasti berbeda keekonomiannya. “Harapannya UU Migas baru membuat komponen-komponen yang mengarah ke permasalahan ini,” ungkap Pri Agung.