JAKARTA – PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, sebagai pemimpin konsorsium pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa 1 di Cilamaya, Karawang,  dinilai memiliki wewenang penuh dalam mengevaluasi kinerja anggota konsorsium. Terlebih jika memang ada masalah yang disebabkan oleh anggota konsorsium.

Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi dari Universtias Gadjah Mada, mengungkapkan jika memang mampu menghadirkan fakta di lapangan, Pertamina bisa saja mengusulkan pergantian konsorsium kepada PT PLN (Persero) selaku pemilik proyek PLTGU Jawa 1.

“Pertamina sebagai pimpinan konsorsium bisa mengevaluasi. Kalau hasil evaluasi Marubeni tidak tunduk dengan proposal saat bidding, Pertamina bisa mengusulkan ke PLN untuk mengganti anggota konsorsium. Penggantian itu harus mendapat persetujuan PLN,” kata Fahmy kepada Dunia Energi, Kamis (7/11).

Jika manajemen Pertamina telah memaparkan berbagai masalah soal Marubeni, menurut Fahmy, manajemen PLN yang bisa memutuskan penggantian konsorsium tersebut. PLN memiliki kepentingan untuk memastikan kondisi proyek berjalan dengan baik. Jika terjadi masalah di konsorsium, dikhawatirkan merembet pada target penyelesaian proyek. “PLN yang memutuskan perlu tidaknya bidding ulang kalau anggota konsorsium diganti,” ujarnya.

Fahmy mengatakan, sebagai pemilik PLTGU Jawa-1 manajemen PLN harus bisa menuntut penyelesaian proyek kepada konsorium sesuai target ditetapkan dalam proposal, yang diajukan pada saat penawaran.

Proyek pembangunan PLTGU Jawa 1 dikerjakan oleh konsorsium yang memenangkan tender yakni Pertamina-Marubeni-Sojitz. Dengan kapasitas 1.760 MW, PLTGU Jawa I menjadi pembangkit listrik berbahan bakar gas terbesar di Asia Tenggara. PLTGU Jawa I juga merupakan pembangkit listrik berbasis gas pertama di Asia yang mengintegrasikan Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) dengan PLTGU (Combined Cycle Gas Turbine/ CCGT)

Sayangnya,kondisi tidak harmonis konsorsium terungkap belakangan. Kisruh utamanya antara Pertamina Power Indonesia (PPI) sebagai kepanjangan tangan Pertamina di konsorsium dengan Marubeni. Ginanjar Sofyan, Direktur Utama PPI, bahkan telah jadi korban dari kekisruhan tersebut. Meski masih menjabat dirut, Ginanjar telah menerima surat pemberhentian sebagai Dirut PPI dari Direksi Pertamina.

“Intinya, saya dibebastugaskan dari jabatan Dirut PPI dan Dirut Konsorsium PLTGU Jawa-1. Saya sudah menjalankan tugas Dirut sejak Februari 2018 dan baru akan selesai tugas pada Februari 2021,” kata Ginanjar beberapa waktu lalu.

Sumber Dunia Energi yang mengetahui sepak terjang Marubeni di PLTGU Jawa 1 mengatakan, perusahaan asal Jepang itu dinilai tidak mengedepankan etika bisnis, isu tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), serta efisiensi biaya proyek, dan pergantian operator FSRU dari Belgia (Exmar) oleh Perusahan Jepang lainnya (Mitsui OSK Line/MOL). Ini yang membuat Ginanjar tidak senang dan langsung mengirimkan surat protes ke Marubeni.

Perseteruan itu juga makin memanas karena isu efisiensi. Proyek pimpinan PPI bukan hanya menjadi ikon di tataran internasional karena kompleksitas proyeknya, tapi juga merupakan proyek dengan harga atau tarif listrik termurah dan berbasis energi bersih yaitu LNG. Efisiensi mungkin menjadi kunci kemenangan dan murahnya tarif listrik proyek yang dipimpin PPI tersebut.

Sumber Dunia Energi menyebutkan, dari semua kekisruhan, pertempuran PPI versus Marubeni itu sebenarnya adalah urusan dana sebesar US$ 1,3 miliar atau sekira Rp 18 triliun. PPI berkeras dan berusaha keras untuk berhemat karena IRR Project sangat tipis akibat Marubeni dinilai “salah kalkulasi” saat persiapan bidding submission. Di sisi lain, PPI saat ini berhasil menyelamatkan US$62 juta, dan manajemen PPI menargetkan penghematan sebesar US$48 juta dengan cara mengurangi, bahkan menjaga untuk tidak terjadinya change order selama masa konstruksi.

Proyek-proyek di Indonesia sangat terkenal dengan change order pada saat proyek tengah dalam masa konstruksi. Kebiasaan change order terebut akan menekan IRR project, bahkan bisa membuat proyek menjadi tidak layak lagi. Apalagi change order merupakan celah korupsi yang sering terjadi dan sering dipakai oleh para pemain di proyek-proyek. “Kasus kasus PLTGU Jawa 1 harus manjadi contoh dan pelajaran bagi Indonesia dalam cara menangani proyek-proyek agar efisien dan tidak dijadikan moda korupsi,” ujarnya.

Slamet Muhadi, Direktur Anak Usaha Marubeni di Indonesia, kepada Dunia Energi, sebelumnya menyatakan bahwa Marubeni komitmen untuk terus bersama  Pertamina dalam konsorsium PLTGU Jawa 1. (RI/DR)