JAKARTA – Pemerintah mengakui pelaku usaha Energi Baru Terbarukan (EBT) sangat menantikan Peraturan Presiden (Perpres) tentang harga listrik EBT. Hanya saja hingga kini regulasi yang dinantikan tersebut tidak kunjung terbit.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan pelaku usaha tidak perlu ragu dalam berinvestasi, meskipun Perpres belum terbit karena prinsip-prinsip aturan main dalam penetapan harga listrik EBT sudah mengacu pada mekanisme yang diatur di Perpres. Oleh karena itu, tidak perlu menunda rencana operasi sejumlah proyek pembangkit listrik EBT. Pasalnya, PT PLN (Persero) sudah diarahkan untuk berpegang pada rancangan beleid tersebut ketika melakukan negosiasi harga untuk proyek baru.

“Terkait tarif listrik, bukan sudah menggunakan, tetapi sudah mengarahkan PLN untuk melihat tarif yang ada di rancangan Perpres kalau ada pengembang yang sampaikan angka di atas (batas). Perpres itu sudah disosialisasikan, meski belum ditandatangani,” kata Dadan dalam konferensi pers virtual, Kamis  (14/1).

Hingga saat ini, beleid terbaru itu tidak kunjung ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Regulasi ini masih dalam tahap dimintakan persetujuan dari kementerian lain yang terkait.

Dadan mengatakan salah satu mekanisme yang ada dalam beleid dan sudah dikoordinasikan dengan PLN sebagai pedoman dalam penetapan harga listrik sebelum adanya Perpres adalah kompensasi harga listrik yang juga sudah dibahas dengan Kementerian Keuangan.

Dalam rancangan Perpres disebutkan adanya kompensasi jika harga listrik proyek pembangkit energi terbarukan lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan (BPP) listrik, maka akan ada kompensasi yang diberikan ke PLN.

“Ini akan banyak terjadi di proyek panas bumi. Jadi sudah dicari cara bagaimana proyek panas bumi bisa jalan, karena PLTP ini yang sediakan listrik stabil selama 24 jam,” ungkap Dadan.

Perpres baru menawarkan mekanisme harga listrik energi terbarukan yang diyakini lebih menarik dari yang saat ini berlaku. Salah satunya adalah mekanisme Feed in Tariff untuk pembangkit listrik energi terbarukan dengan kapasitas di bawah 5 megawatt (MW) sehingga tidak perlu ada lagi negosiasi harga dengan PLN sebagai pembeli. Sementara untuk mekanisme harga lainnya adalah penawaran terendah, patokan tertinggi, atau kesepakatan.

Harga listrik energi terbarukan dalam Perpres ini juga mempertimbangkan faktor lokasi pembangkit listrik yang menjadi faktor pengkali (F). Besaran faktor lokasi ini semakin besar untuk daerah Indonesia bagian timur dan pulau-pulau kecil. Faktor lain yang juga diperhitungkan adalah kapasitas pembangkit. Harga listrik energi terbarukan juga ditetapkan lebih tinggi di masa awal pembangkit listrik beroperasi, yakni di kisaran 12-15 tahun pertama. Selanjutnya, harga listrik dipatok lebih rendah hingga kontrak berakhir di tahun ke-30.(RI)