BANDUNG – Pengembangan teknologi energi bersih bahkan mengakselerasi tercapainya skala keekonomian harga EBT yang dinilai semakin kompetitif dan mulai dilirik para investor energi sehingga dinilai sudah berani bersaing dengan harga bahan bakar fosil.

Dadan Kusdiana, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, harga listrik dari pembangkit EBT sudah hampir mendekati harga listrik berbasis fosil, bahkan ada yang lebih efisien.

Perkembangan positif ini membuat keseimbangan persaingan usaha antara EBT dan energi fosil. Dengan begitu, pemerintah punya alasan kuat untuk menjadikan EBT sebagai sumber energi.

Kemajuan dalam teknologi energi terbarukan, khususnya pada sektor pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan angin (PLTB), telah memungkinkan efisiensi yang lebih tinggi sehingga berdampak terhadap penurunan biaya produksi listrik yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan pembangkit energi fosil.

“Secara keekonomian PLTB Sidrap dan PLTB Jeneponto di 2016, kontrak listriknya yang ditandatangan dan disetujui oleh Menteri ESDM, harganya itu US$10,9 sen per kilo Watt hour (kWh). Sekarang, sudah ada kontrak baru PLTB di Kalimantan Selatan awal tahun 2023 ini, kapasitanya sama kira-kira 75 megawatt (MW). Jika dibandingkan dengan harga 6 – 7 tahun lalu, sekarang angkanya adalah di bawah US$6 sen per kWh,” ujar Dadan akhir pekan lalu di Bandung.

Perbandingan harga pembangkit EBT dengan harga pembangkit berbasis energi fosil, seperti batu bara (PLTU) saat ini bahkan sudah bisa bersaing.

“Harga listrik PLTS Cirata (US$5,8 sen per kWh) itu angkanya di bawah US$6 sen per kWh juga. Kalau ingin sederhana hitung saja, misal produksi listrik dari batu bara satu kWh itu perlu sekitar 0,7 sampai 0,8 kilo batubara. Jadi, komponen bahan bakarnya itu bisa langsung dihitung di situ. Yang per sekarang angkanya harus lebih mahal dari yang tadi. Ya apakah EBT ini kompetitif? sekarang sudah tendensinya ke situ,” jelas Dadan.

Dengan Harga batu bara acuan (HBA) berkisar antara US$125-US$130 per ton, maka harga listrik dari EBT sudah dapat bersaing dengan harga listrik berbasis fosil.

“Dengan HBA saat ini berkisar di angka sekitar US$130 per ton ini sudah bersaing. Jadi, EBT ini sekarang sudah masuk skala keekonomian. Kita head to head saja dengan fosil sudah bisa. Jadi narasi yang ingin saya bangun itu adalah sekarang tidak ada alasan lagi untuk tidak memakai EBT,” pungkas Dadan. (RI)