JAKARTA – Pemberlakuan harga gas khusus bagi beberapa kelompok industri masih belum terwujud. Padahal melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016, Presiden Joko Widodo memerintahkan jika harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga lebih tinggi dari US$6  per MMBTU, menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dapat menetapkan harga gas bumi tertentu.

Tujuh jenis industri yang seharusnya mendapat harga gas khusus adalah  industri pupuk, baja, petrokimia, oleochemical, keramik, sarung tangan, dan industri kaca.

Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, mengatakan penurunan harga gas telah dibahas lintas kementerian bersama juga presiden. Dari hasil pembahasan tersebut terungkap cukup sulit untuk menjalankan atau mengimpelementasikan harga gas sesuai Perpres.

“Kalau US$6 per MMBTU, kayaknya tidak bisa. Tapi (tetep) bisa turun sedikit, karena kalau dari hitung-hitungan kemarin berat ya,” kata Moeldoko di Jakarta, Selasa (27/3).

Hingga kini baru ada tiga industri yang menikmati harga gas sesuai dengan perpres yaitu industri baja, pupuk dan petrokimia.

Menurut Moeldoko, pemerintah sudah melakukan berbagai simulasi agar sisa empat industri lainnya bisa menikmati harga gas seperti tiga industri sebelummya. Namun, perbedaan lokasi atau wilayah sumber gas menjadi kendala tersendiri, sehingga harga gasnya pun tidak bisa disamaratakan maksimal US$6 per MMBTU.

“Masing-masing blok punya cost sendiri, tidak seperti yang kita bayangkan. Itu tadi ada yang dari sumber ini bisa begini, sumber lainnya tidak, jadi agak ribet,” ungkap dia.

Rencana pemerintah untuk merelakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga masih dalam kajian. Jika  ada penurunan penerimaan negara maka harus dipastikan ada dampak lainnya yang akan terwujud.

“Satu sisi PNBP berkurang, tapi sektor ini bergerak karena nanti gerakan tenaga kerja investasi meningkat. PNBP berkurang, tapi sektor rill bisa bergerak,” kata Moeldoko.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, sebelumnya mengatakan penghapusan PNBP jumlahnya beragam, namun secara keseluruhan pengurangannya hanya berkisar di bawah US$ 1 per MMBTU. Karena itu efeknya terhadap penurunan harga gas  tidak signifikan, sehingga Kementerian Keuangan masih melakukan perhitungan dampak penghapusan PNBP tersebut.

Selain itu, meskipun PNBP dihilangkan harga gas ke industri juga belum tentu sesuai dengan Perpres 40/2016 yang mengamanatkan harga gasnya dibawah US$ 6 per MMBTU. Apalagi harga ICP yang menjadi salah satu komponen perhitungan harga gas saat ini juga sedang merangkak naik.

Pemerintah mencatat hingga kini  sudah 56 dari 80 perusahaan berdasarkan rekomendasi Kementerian Perindustrian yang sudah diproses perhitungan efeknya jika PNBP dihilangkan.

Dari 80 perusahaan tersebut total kebutuhan gas hanya sebesar 21 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Padahal besaran PNBP berkisar antara US$0,3–US$0,7 per MMBTU. Berdasarkan perhitungan, total potential loss atau potensi kehilangan PNBP mencapai US$4,3 juta.

“Industri yang minta turun itu sekarang lagi diproses ada 56, yang mengajukan jumlahnya 80 perusahaan dan gasnya 21 MMSCFD. Kecil jumlah gasnya,” kata Arcandra.(RI)