JAKARTA- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan pembahasan Peraturan Presiden (Perpres) terkait Energi Baru Terbarukan sudah memasuki tahap finalisasi dan ditargetkan bisa rampung pada tahun ini.

FX Sutijastoto, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), mengungkapkan keberadaan Perpres cukup krusial untuk menggenjot porsi EBT dalam bauran energi Indonesia. Perpres diharapkan bisa menjadi stimulus pelaku usaha untuk lebih meningkatkan investasinya pada energi hijau.

Dia mengakui bahwa aturan yang ada selama ini cukup terbatas. Salah satunya dari sisi kebijakan harga. Jika hanya mengandalkan peraturan menteri sampai saat ini, kontrak EBT sangat terbatas.

“Harga beli saaat ini belum mencerminkan nilai keekonomian yang wajar,” kata Sutijastoto dalam konferensi pers virtual, Selasa (28/7).

Dalam tiga tahun terakhir aturan penentuan harga listrik EBT berdasarkan Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017  menuai banyak protes dari para pelaku usaha. Belakangan Permen tersebut akhirnya direvisi dengan terbitnya Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2020. Namun perhitungan harga dalam aturan tersebut masih menggunakan skema penetapan berdasarkan Biaya Pokok Produksi (BPP) di masing-masing wilayah. Sementara aturan baru nanti rencananya akan menggunakan skema feed in tariff.

Menurut Sutijastoto, potensi EBT masih sangat besar yakni mencapai 442 gigwatt (GW) namun baru terimplementasi sebesar 10,4 GW atau hanya 2,4%.

“Realisasi capaian bauran EBT baru 9,15% dari target KEN 23% pada 2025. Terdapat gap antara target RUPTL PLN dengan target Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebesar 4.000 MW tahun 2025,” kata dia.

Selain itu Perpres sangat mendesak karena pengembangan EBT akan menciptakan ekonomi baru, industri EBT dalam negeri dan daerah, munculnya pengusaha EBT, meningkatkan ketahanan energi dan ekonomi nasional karena sumber di dalam negeri.

“Ini mendorng kita keluar dari jebakan defisit neraca perdagangan,” ujar Sutijastoto.

Keuntungan lainnya, EBT bisa mewujudkan energi bersih, harga listrik terjangkau, pertumbuhan industri, keamanan energi, menciptakan nilai tambah. Tapi ada harga yang harus dibayar oleh pemerintah dan ini sudah dikonsolidasikan dengan kementerian dan lembaga terkait.

Cost-nya bagi pemerintah menyiapkan insentif fiskal dan perpajakan,” tegasnya.

Dalam Perpres EBT akan ada instrumen kebijakan yang selama ini kosong untuk mensinergikan dan mensinkronisasikan kebijakan-kebijakan dan langkah dari kementerian atau lembaga terkait untuk mendukung EBT. Hal tersebut sangat penting karena tanpa adanya sinergi dari para stakeholder maka target EBT tidak akan pernah tercapai. Apalagi Indonesia dinilai masih pemain baru dalam upaya transisi energi ini.

Dalam laporan International Energy Agency (IEA), Indoenesia dikategorikan negara yang baru memulai atau menginisiasi transisi energi ini sehinggga kebijakannya perlu disesuaikan.

“IEA, mengkategorikan Indonesia msh tahap inisiasi dan take off. karakteristiknya pasar masih lemah, kebijakan harus bangun kepercayaan investor,” ungkap Sutijastoto.

Dalam tahap ini insentif-insentif masih diperlukan. Kemudian perlu kebijakan yang bisa mengurangi risiko investasi. Pada tahap awal, pemerintah harus lebih banyak berperan beri insentif beri kompensasi biaya eksplorasi, sehingga investor lebih percaya diri dalam berinvestasi.

“Kalau sudah take off, peran pemerintah dan dunia usaha seimbang. Begitu sudah mature,  peran pemerintah kecil dan dunia usaha besar. Oleh karena itu pemerintah sangat mendukung pengembangan EBT  melalui insentif dan feed in tariff untuk kapasitas kecil, karena pemerintah dorong pengusahan dalam negeri untuk berperan. Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) juga didorong bankable,” kata Sutijastoto.(RI)