PANNDEMI COVID-19 telah meluluhlantakan berbagai sektor dan tidak terkecuali industri migas ikut merasakan keganasan virus tersebut. Dampaknya sangat nyata bagi proyek hulu migas. Protokol kesehatan yang ketat dengan menjaga jarak jadi “musuh utama” penyelesaian proyek karena membuat banyak pekerjaan menjadi tertunda.

Proyek Jambaran Tiung Biru (JTB) di Desa Bandungrejo, Ngasem, Bojonegoro, Jawa Timur yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) jadi salah satu proyek hulu migas paling disorot. Pasalnya, proyek ini sebenarnya ditargetkan bisa rampung pada tahun 2021. Bayang-bayang keterlambatan proyek langsung terlihat sejak pandemi melanda.

Namun demikian setelah melalui berbagai rintangan saat pandemi, akhirnya lapangan JTB mulai menyemburkan gasnya dan sudah mengalir atau memasuki tahap Gas On Stream (GoS) pada 20 September 2022. GoS merupakan tahap pengaliran gas dari Gas Processing Facility (GPF) menuju metering area untuk disalurkan ke pipa distribusi yang selanjutnya diterima oleh para pembeli dari gas tersebut.

Sebelumnya, pada Agustus 2022, PT Pertamina EP Cepu (PEPC) sebagai operator proyek JTB bersama mitra pelaksana telah berhasil melakukan gas in atau mengalirkan gas dari sumur ke GPF. Rampungnya proyek JTB tahun ini memang sedikit meleset dari target yang sebelumnya. Tapi upaya yang telah dilakukan untuk meminimalisir keterlambatan lebih jauh dinilai cukup sukses.

Mulai mengalirnya gas JTB ini jadi babak baru pengelolaan sumber daya migas di tanah air oleh PT Pertamina (Persero). Ada pertaruhan besar dibalik aliran gas JTB.

Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengungkapkan JTB merupakan proyek yang dikaji dan direncanakan secara matang oleh Pertamina serta proyeksi kebutuhan gas ke depan. Mulai diproduksikannya gas JTB membuat pasokan keamanan pasokan gas di pulau Jawa menjadi lebih terjamin. “JTB ini menurut saya sudah inline dengan upaya investasi,” kata Dwi saat konferensi pers di kantor SKK Migas, Senin (17/10).

Peran Pertamina kata Dwi sangat krusial dalam mengembangkan lapangan JTB karena jika ditelisik jauh ke belakang harga gas tidak akan mencapai keekonomian yang menguntungkan semua pihak jika bukan Pertamina yang mengembangkannya.

“TB ini dengan posisi project langsung pertamina berdampak ke harga gas lebih rendah dari pada ketika akan dilaksanakan oleh Exxon,” kata Dwi.

Julius Wiratno, Deputi Operasi SKK Migas mengungkapkan Onstream-nya proyek JTB pada bulan lalu merupakan capaian positif ditengah berbagai tantangan yang dihadapi oleh PEPC. Setelah on stream secara bertahap volume gas akan ditingkatkan hingga mencapai volume sesuai dengan yang telah disepakati dengan pembeli gas JTB. “Akhir Oktober ini sekitar 40-50% ya. Pertamina sendiri targetkan November harus sudah ramp up,” kata Julius.

Sejak memasuki tahun 2020 atau saat tahap akhir penyelesaian, proyek JTB terus dibayangi kemunduran yang terlampau jauh dari target serta kerugian lebih besar. Hal itu bisa saja terwujud apabila pengerjaan proyek dilakukan seperti biasa. Manajemen PEPC putar otak untuk memastikan proyek gas terbesar di pulau Jawa itu berubah jadi proyek rugi.

Beberapa langkah manajemen yang cukup krusial diambil saat pandemi mulai menyerang diantaranya memobilisasi para pekerja ahli ke lapangan untuk mempercepat progress konstruksi. Akibat ada pembatasan sosial di beberapa daerah dan penutupan akses bandara di Surabaya, Semarang dan Solo kala itu menyebabkan ketersediaan tenaga kerja ahli di pasaran untuk dipekerjakan di proyek menjadi terbatas.

Selanjutnya adalah mengubah sistem on-off pekerja yang semula 12 minggu off dan 12 minggu on menjadi 12 minggu off, 12 minggu karantina dan 28 minggu on untuk mengimbangi hari-hari kerja efektif yang hilang akibat menjalani masa karantina.

Kemudian melakukan monitoring secara day by day terhadap vendor atau pabrikan luar negeri dan dalam negeri untuk mempercepat delivery time material ke site, seperti penggunaan air freight (angkutan udara untuk pengiriman barang) dan melakukan overtime para pekerja di pabrikan. Lalu memberlakukan shift malam pada pekerjaan yang tentu saja tidak mempengaruhi humadity karena diimbangi dengan pemberian insentif gaji untuk biaya komunikasi para pekerja kepada keluarga dan juga menambah biaya vitamin dan aspek hiburan di mess untuk menghilangkan rasa jenuh.

PEPC juga menambah tenaga kerja sebanyak 1.000 orang pekerja sehingga total pekerja menjadi sekitar 5.000 orang pekerja dengan tidak ada terpapar Covid-19. Selain itu, manajemen juga mempercepat proses clearence atau pembebasan barang atau material di pelabuhan kedatangan, sehingga secepatnya dapat terkirim di site.

Menurut Julius kondisi COVID-19 benar-benar diluar dugaan dan memukul industri migas cukup parah. Dia mengaku upaya yang dilakukan operator proyek JTB untuk memastikan proyek tetap berjalan jadi salah satu upaya terbaik yang pernah dilihat dalam proyek migas.

“Signifikan effort-nya ya karena covid kemarin itu kita harus extra kerja keras dan hati-hati meskipun telat tetap ya masih reasonable. nggak terlalu jauh mundur,” kata Julius.

Upaya yang dilakukan oleh manajemen PEPC bukan tanpa sebab. Proyek Jambaran Tiung Biru jadi pertaruhan baik bagi Pertamina dan lebih dari pada itu bagi negara dan masyarakat secara langsung karena kebutuhan gas untuk pembangkit listrik PLN sudah tidak bisa ditawar. Kemudian ada industri yang menanti pasokan gas. Kepastian adanya pasokan gas tentu berdampak pada kinerja produksi industri yang menggunakan gas sebagai bahan bakar maupun bahan baku.

Bagi Pertamina, pertaruhan tersebut dimulai sejak perusahaan migas plat merah itu mengambil inisiatif untuk mengambil alih pengembangan potensi gas di JTB dari ExxonMobil yang merupakan operator lapangan Banyu Urip, Blok Cepu.

Syamsu Alam, mantan Direktur Hulu Pertamina menceritakan pada awalnya potensi gas terdeteksi di lapangan Tiung Biru yang masih menjadi bagian dari PT Pertamina EP kala itu. Saat itu juga sudah diketahui ada kandungan gas juga di lapangan Jambaran yang berada di sebelah Tiung Biru. Namun lapangan Jambaran merupakan bagian dari Blok Cepu yang kala itu dikelola oleh Exxon.

Pertamina semakin percaya diri untuk mengembangkan sendiri potensi gas di dua lapangan tersebut setelah manajemen Exxon menyatakan akan fokus mengembangkan lapangan Banyu Urip.

Manajemen Pertamina kala itu meyakinkan pemerintah yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang sedang dipimpin oleh Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Plt serta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) untuk memberikan kesempatan Pertamina memonetisasi potensi di lapangan Jambaran dan Tiung Biru sekaligus. Syamsu menceritakan dia jajaran petinggi Pertamina tidak ragu menghadap Luhut untuk meyakinkannya untuk memberikan lampur hijau bagi Pertamina untuk kelola sendiri Jambaran Tiung Biru. Ijin dari pemerintah sangat penting, pasalnya lapangan Jambaran berada di dalam wilayah Blok Cepu yang dioperatori oleh Exxon Mobil Cepu Limited (ECML). Pengelolaan satu blok migas oleh dua operator sangat jarang terjadi, khususnya di Indonesia.

Selain meyakinkan pemerintah pekerjaan selanjutnya adalah meyakinkan Exxon. Pertamina bahkan rela gelontorkan tidak sedikit dana untuk menguasai secara penuh proyek JTB.

Akhirnya pada bulan November 2019 Pertamina menguasai secara penuh proyek JTB dengan nilai akuisisi menurut Syamsu Alam tidak lebih dari US$121 juta atau yang pernah diminta oleh Exxon.

Pertamina bukan tanpa alasan terlihat “ngotot” mengerjakan proyek JTB. Kebutuhan gas domestik khususnya di Jawa bagian timur diprediksi akan terus meningkat. Sudah menjadi tugas Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau kepanjangan tangan negara untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

“Karena masih ada diskoneksi (infrastruktur) itu jadi urgensi pemenuhan gas jawa bagian timur sangat tinggi. Harapannya proyek kembangkan gas ini harus bisa kita alirkan dan bisa dibeli oleh buyer salah satunya PLN. Dan itu secara investasi ada return,” cerita Alam kepada Dunia Energi belum lama ini di Jakarta.

Sumber : Kementerian ESDM- Pertamina , Diolah : Dunia Energi

Proyek JTB merupakan proyek gas terbesar pertama di pulau Jawa sehingga wajar pemerintah menetapkannya sebagai salah satu PSN (Proyek Strategis Nasional). Proyek ini sempat mati suri lantaran harga gasnya terlampau tinggi. Dengan nilai awal investasi atau capital expenditure (capex) sebesar US$2 miliar harga jual gas ke pembeli mencapai US$8 per MMBTU dengan eskalasi 2% per tahun.

PEPC sebagai operator tidak tinggal diam. Kala itu PEPC yang dipimpin Jamsaton Nababan sukses menekan capex menjadi sekitar US$ 1,5 miliar yang tentu saja berimbas juga pada harga jual gas-nya. Efisensi dilakukan dengan menyisir biaya capex pada drilling cost dan sektor Project Management Team (PMT Cost).

Pemangkasan biaya dari kedua sektor tersebut dapat menurunkan biaya capex hampir US$ 500 juta dan mampu menurunkan harga jual gas menjadi US$ 6,7 per MMBTU tanpa eskalasi selama 15 tahun. Penghematan dari drilling cost didapat dari optimalisasi disain, seperti pemilihan material yang over spec dan mengubah metode drilling (pengeboran).

Sedangkan penghematan dari PMT cost didapat dari pengurangan tenaga expart dari secondee EMCL lalu menggantikannya dari tenaga ahli lokal dan meminimalkan jumlah tenaga expart seminimal mungkin dengan rate yang lebih kompetitif.

Tantangan tidak berhenti di situ. Secara teknis gas JTB juga memiliki kadar CO2 cukup tinggi. Mengelola lapangan gas dengan kadar CO2 yang tinggi itu bukan perkara mudah. Jamsaton menceritakan dalam review engineering muncul masalah yaitu terjadinya hydrate dalam proses pengolahan gas. Terjadinya hydrate tersebut menyebabkan performance fasilitas pengolahan gas menjadi tidak maksimal dan reliability plant menjadi sangat rendah. Hal itu akan menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah, PEPC dan buyers dimana parameter keekonomian yang merosot dengan NPV negative.

Setelah dilakukan kajian manajemen akhirnya mengganti teknologi pengolahan gas yang sudah ada menjadi teknologi membrane. Tidak hanya efisien dan teknologi proven, pilihan tersebut juga bisa meningkatkan volume produk gas mencapai 20 Juta Kaki Kubik Per Hari (MMscfd) karena adanya efisiensi penggunaan utility gas. Dengan demikian produksi gas JTB mampu ditingkatkan dari semula 172 MMscfd menjadi 192 MMscfd tanpa adanya kenaikan capex.

Selain itu PEPC juga mampu memproduksi produk sampingan gas yaitu sulfur dari semula dalam bentuk padat menjadi bentuk cair atau asam sulfat (H2SO4). Keputusan untuk memilih produk sulfur cair (H2SO4) adalah untuk menambah revenue produksi lapangan JTB dimana sulfur cair mempunyai nilai jual di market untuk bahan dasar industri, sedangkan sulfur padat adalah produk limbah (waste) yang tidak mempunyai nilai jual bahkan membutuhkan biaya operasi untuk proses pengangkutan limbah sulfur padat. Mengubah produk sulfur padat menjadi asam sulfat dapat mengurangi volume impor Indonesia sebesar 40% atau sebesar 300 ton per hari.

Awang Lazuardi, Direktur Utama PEPC 2020-2022, menceritakan salah satu hal poin penting dalam melakukan akselerasi percepatan pengerjaan proyek agar tidak molor terlalu jauh akibat pandemic adalah inovasi dalam penggunaan rig pemboran.

PEPC kala itu menggunakan cyber working rig. Menurut dia inovasi ini jelas jadi pembeda proyek gas JTB dengan proyek lainnya. Kegiatan pemboran biasanya setelah selesai rig harus diposisikan seperti sebelum melakukan pemboran setelah itu baru geser ke sumur berikutnya.

“Ini tidak seperti itu, namanya pemboran mulai dari casing atas bawah dan paling bawah. Masing-masing itu butuhkan spesifikasi lumpur berbeda material juga beda. Cyber work rig kita lakukan. Sumur sudah siap 4-6 sumur, selesai 1 section lumpur masih ada geser dulu selesaikan section atas lagi geser lagi dan lagi balik lagi section bawahnya. Sampai selesai ini hemat waktu hemat biaya pemakaian lumpur secara terus menerus ini bisa saving (hemat) US$16 juta,” jelas Awang.

Investasi Tepat

Rampungnya proyek JTB jelas membuat pemerintah bernafas lega, pasalnya kini pasokan gas untuk PLN sudah diamankan. Dari total kapasitas produksi sebesar 192 MMscfd sebanyak 100 MMscfd atau lebih dari 50% produksi gas diperuntukkan untuk pembangkit listrik. PLN bisa leluasa menentukan pembangkit mana yang akan mendapatkan pasokan gas JTB bisa ke Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa 3 di Jawa Timur atau bisa juga ke PLTGU Tambak Lorok di Jawa Tengah. Selain untuk pemenuhan kebutuhan listrik, industri terutama pupuk, serta industri lainnya seperti keramik dan petrokimia di beberapa wilayah yang ada di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah melalui transportasi pipa gas Gresik-Semarang.

Arief Setiawan Handoko, Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas menuturkan proyek JTB bisa bergulir dengan lancar berkat adanya kepastian dari sisi konsumen atau pengguna gas. Saat pengembangan JTB dimulai memang sudah diproyeksikan adanya kebutuhan gas di pulau Jawa cukup besar

“Kita tahu sesuai dengan plan gas akan dil JTB 172 MMscfd dengan tambahan 20 MMscfd dari 172 MMscfd itu semua ke Pertamina 100 MMscfd dan akan diserap PLN. 72 MMscfd untuk di industri Jawa Timur sampai Jawa Tengah. Dengan pipa Gresik – Semarang onstream, ada tambahan produksi 20 MMscfd. 15 MMscfd ke PKG (Petrokimia Gresik) dan 5 MMscfd trader gas swasta,” jelas Arief.

Selain untuk memenuhi industri di Jawa Tengah dan Jawa Timur, gas JTB juga bisa disalurkan ke industri di Jawa Barat apabila pipa transmisi Cirebon Semarang nanti rampung.

Sumber : SKK Migas

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan gas JTB akan menjadi andalan dalam pemenuhan energi masa kini dan yang akan datang. Bersama sumber-sumber gas baru lainnya seperti IDD dan proyek Abadi Masela, proyek JTB merupakan instrumen utama dalam upaya melakukan transisi energi.

“EBT bisa kita kombinasi dengan energi lain. Gas kita punya makanya sekarang kita lagi bangun jaringan gas agar semua tersambung dari ujung Sumatera sampai ke Jawa Timur dan itulah bentuk ketahanan energi kita jangka ke depan ditambah lagi dengan nanti ada penemuan gas baru kan yang di Sumatera bagian utara (Andaman) ada kemungkinan yang besar, di Jawa timur, JTB sudah jadi, itu penting juga bersama temuan lainnya,” jelas Arifin saat ditemui di kantornya akhir pekan lalu.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menyatakan selesainya proyek JTB merupakan angin segar bagi industry hulu migas tanah air, terlebih bagi Pertamina. Dia menilai akurasi perencanaan investasi proyek JTB sangat krusial. Ini bisa dilihat dari kebutuhan gas di Jawa yang sekarang dan tahun-tahun mendatang akan cukup tinggi.

“Untuk Jawa Timur cukup signifikan untuk memenuhi kebutuhan gas dan juga bisa masuk ke pipa transmisi gas utama yang bisa masuk ke jaringan gas di Jawa,” ungkap Komaidi kepada Dunia Energi.

Bagi Pertamina, proyek JTB menegaskan bahwa Pertamina merupakan andalan untuk memenuhi kebutuhan gas nasional “Saya kira ini bagus bagi Pertamina dalam banyak aspek. Utamanya dalam ketersediaan pasokan gas,” kata Komaidi.

Sementara itu, Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI, mengakui proyek JTB merupakan salah satu proyek gas paling penting yang pernah dikembangkan

“Dan strategis bagi pemenuhan gas di pulau Jawa, khususnya Jawa Timur.  Info terakhir yang saya tahu, kapasitas produksi gas yang mencapai 192 MMscfd sudah sold out, tuntas kontrak dengan PLN serta industri lainnya termasuk oleh PGN,” ujar Mulyanto kepada Dunia Energi (23/10).

Dia menilai gas dari proyek JTB berdampak sangat positif bagi ketahanan energi dan pembangunan nasional.  Di satu sisi untuk kebutuhan bahan baku industri pupuk, bahan bakar industri, serta pembangkit listrik.  Di sisi lain untuk pasokan gas rumah tangga (jargas) untuk mensubsitusi sekaligus mereduksi penggunaan gas LPG yang selama ini masih kita impor.

Menurut Mulyanto keberadaan gas JTB sangat krusial terlebih setelah pandemic COVID-19 melandai dan ekonomi mulai tentu ditengah berbagai tekanan terhadap energi yang hasilkan emisi tinggi dibutuhkan bahan bakar yang rendah emisi.

Pasca recovery COVID-19, ketersediaan pasokan gas yang lumayan besar ini akan mampu menggerakkan roda-roda industri yang sudah mulai bergeliat.  “Waktunya sangat tepat,” ujarnya.

Mulyanto menilai operator dan para mitra kontraktornya patut diapresiasi mampu gas in (operasi) relatif tepat waktu sesuai target perencanaan, yang kedua ini membuktikan bahwa insinyur kita mampu membangun pabrik besar padat teknologi seperti JTB ini.  “Bangsa kita mampu kalau memang diberikan kepercayaan,” tegas Mulyanto.

Pemenuhan gas untuk pembangkit listrik jadi catatan tersendiri bagi Pertamina dimana saat ini gas jadi peran kunci di masa transisi energi. Investasi serta inisiatif Pertamina ambil alih proyek JTB dari Exxon terbukti sesuai dengan arah kebijakan energi nasional. Seperti diketahui penggunaan gas kini jadi pilihan utama pada masa transisi energi dari fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) guna menuju Net Zero Emissions (NZE) tahun 2060. Gas dinilai jauh lebih rendah emisi ketimbang bahan bakar fosil lain seperti minyak dan batu bara.

Kini berbagai pertanyaan terkait investasi maupun kemampuan Pertamina mengelola potensi migas nasional sudah terjawab di Lapangan Jambaran Tiung Biru. Pertamina membuktikan bahwa rencana investasi perusahaan sudah tepat. Mulai dari kemampuan untuk memenuhi kebutuhan gas hingga perencanaan investasi yang rendah emisi, bahkan ditengah pandemi yang merupakan bencana berskala dunia Pertamina mampu menuntaskan kewajibannya.

Tidak kalah penting adalah kepercayaan diri. Kini sudah tidak perlu lagi ragu anak bangsa menggarap proyek migas berskala besar. Pertamina boleh berbangga,  Jambaran Tiung Biru Jadi Buktinya!