TANGERANG – Indonesia jadi salah satu negara terdepan yang berinisiatif kembangkan penerapan Carbon Capture Storage (CCS). Jika infrastruktur siap bukan tidak mungkin Indonesia akan jadi pusat penerapan CCS di kawasan regional.

Daniel Fletcher, Kepala Pengembangan Bisnis CCUS bp, menjelaskan dari sisi geologi Indonesia jelas memiliki keunggulan. Belum lagi Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam pengembangan sumber daya gas.

“Indonesia bisa jadi hub CCS dari sisi geologi potensinya sangat bagus. Punya pengalaman panjang dalam pengembangan gas. Sekarang yang dibutuhkan agreement government to government, serta butuh kontrak,” kata Daniel dalam sesi Plenary Session CCS for Upstream Decarbonization and Beyond di ICE BSD, Rabu (21/5/2025).

Selain itu kebutuhan negara-negara di kawasan regional akan ketersediaan carbon storage juga besar. “Permintaan besar di kawasan Asia ada Jepang, Korea mereka perlu kirim CO2 yang dihasilkan. Indonesia punya potensi geologi, regulasi sudah ada, kini hanya tinggal menunggu waktu saja,” ujar Daniel.

Ary Sudijanto, Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon BPLH, mengungkapkan Indonesia perlu mempersiapkan diri sebelum memasuki bisnis CCS global. Salah satunya adalah carbon credit. Selain itu juga perlu ada benchmark dari negara ada badan sertifikasi karbon sebelum mengenai mekanisme penerapan CCS.

“Pasar memang belum banyak jadi harus belajar juga dengan pihak-pihak lain seperti badan standarisasi. Ada juga agreement dengan negara lain misalnya dengan Jepang untuk membuat standar dan model bisnis,” ungkap Ary.

Sektor migas jadi andalam untuk bisa menginisiasi penerapan CCS. Hanya saja implementasinya membutuhkan biaya tidak sedikit. Ini dialami oleh Inpex Masela Ltd, operator blok Masela.

Shoichi Kaganoi, Senior Vice President of INPEX CORPORATION, menyatakan saat ini memang biaya CCS masih sangat tinggi. Dia meyakini seiring perkembangan teknologi maka biaya CCS bisa ditekan. Dia menilai kolaborasi dengan industri lain sangat diperlukan untuk bisa menekan harga.”Ini harus dibuat lebih murah melalui teknologi. Kolaborasi dengan industri lain, misalnya blue hidrogen, blue ammonia,” ujar dia.

Jika mau mengejar produksi dengan tetap menerapkan CCS dalam waktu dekat maka pelaku usaha membutuhkan insentif dari pemerintah. Kami butuh subsidi support beberapa insentif tax. Kami perlu kolaborasi cara terbaik untuk mencapai keekonomian,” ungkap Soichi.

CCS juga diyakini bakal menyedot investasi jumbo. Pemerintah menargetkan bisa mengembangkan CCS dengan kapasitas 118 juta ton setara CO2 hingga tahun 2060. Untuk bisa mencapai target itu dibutuhkan investasi mencapai US$180 miliar.

Eddy Soeparno, Wakil Ketua Mejelis Perwakilan Rakyat (MPR), menyatakan seluruh stakeholder baik itu pemerintah pelaku usaha bahkan parlemen mendukung penerapan CCS. “Tidak hanya untuk dekarbonisasi karena dari sisi ekonomi penerapan CCS yang membutuhkan investasi besar itu mampu memberikan multiplier effect, penciptaan lapangan kerja,” jelas Eddy.