JAKARTA – Kurang kondusifnya iklim investasi energi terbarukan di Indonesia, dan komitmen politik yang tidak konsisten diyakini dapat membuat pencapaian target 23% bauran energi terbarukan pada 2025 terkendala. Hingga kuartal III 2021, bauran energi terbarukan masih 11,2%. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang pemerintah Indonesia perlu secara serius mempersiapkan ekosistem transisi energi yang mampu mempercepat dekarbonisasi sistem energi di Indonesia mencapai bebas emisi karbon pada 2050.

Pada 2021, pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih berjalan lambat dan tidak on track dengan target 23% bauran energi terbarukan di 2025. IESR dalam laporan tahunan Indonesia Energy Transition Outlook 2022 menemukan bahwa hingga September 2021, total kapasitas terpasang energi terbarukan hanya mencapai 10.827 MW atau bertambah sekitar 400 MW. Sementara untuk mencapai target Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) di 2025 kapasitas pembangkit energi terbarukan diperkirakan harus minimal mencapai 24.000 MW atau sekitar 2-3 GW penambahan kapasitas energi terbarukan setiap tahunnya. Sedangkan agar sesuai dengan Persetujuan Paris, dibutuhkan setidaknya 11-13 GW pembangkit energi terbarukan untuk mendekarbonisasi sistem energi di Indonesia yang mencakup sektor pembangkitan listrik, transportasi dan industri pada tahun 2050.

Pemanfaatan energi surya juga terbilang tidak signifikan, hanya meningkat 18 MW yang didominasi PLTS atap. Bandingkan dengan kebutuhan 10-11 GW PLTS atap tiap tahunnya untuk mendorong bebas emisi pada 2045 di sektor ketenagalistrikan.
IESR memandang PLTS atap merupakan peluang untuk memaksimalkan kontribusi masyarakat dan badan usaha untuk ikut berinvestasi dalam proses dekarbonisasi.

Upaya dekarbonisasi sistem transportasi dengan adopsi kendaraan listrik dan penggunaan bahan bakar nabati juga masih jauh dari target yang ditetapkan. Penjualan kendaraan listrik masih di bawah 1% dari total penjualan kendaraan. Hanya sekitar 2.000 mobil listrik dan 5.000 mobil listrik sepeda motor terdaftar, sementara total mobil dan sepeda motor listrik perlu mencapai 1,7 juta dan 100 juta pada tahun 2030. Bahan bakar nabati pun masih terbatas pada pengembangan biodiesel yang masih belum ekonomis dan terkendala dengan isu keberlanjutan (sustainability). Implementasi B40, dari yang semula B30, yang direncanakan di tahun 2022 pun dinilai akan terkendala melihat harga minyak sawit saat ini.

“Pemerintah harus memfokuskan pada upaya memperkuat komitmen politik untuk dekarbonisasi dengan merevisi KEN dan RUEN agar selaras dengan tujuan Net Zero Emission (NZE), dan memperbaiki kualitas regulasi untuk meningkatkan daya tarik investasi, memangkas hambatan perizinan, dan mengakselerasi pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan di luar PLN dengan mendorong gotong royong warga masyarakat dan bisnis berinvestasi pada pembangkit energi terbarukan terdistribusi dan efisiensi energi. Dengan demikian 23% bauran energi terbarukan di 2025 dapat tercapai,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam acara peluncuran Energy Outlook Transition 2022, Selasa(21/12).

Dekarbonisasi sistem energi di Indonesia dinilai membutuhkan kesiapan ekosistem yang mendukung.Temuan IESR dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2022 menilai kesiapan ekosistem untuk beralih ke energi terbarukan masih sangat rendah. Menggunakan Kerangka Kesiapan Transisi Energi, IESR menilai empat indikator yaitu dukungan kebijakan dan regulasi, teknologi dan ekonomi, iklim dan realisasi investasi, dan sosial.

Dukungan kebijakan dan regulasi energi yang kurang efektif dalam mendongkrak pengembangan energi terbarukan di Indonesia, mencitrakan komitmen politik pemerintah yang rendah terhadap energi terbarukan. Meski pada 2021, pemerintah berkomitmen untuk menaikkan porsi bauran energi terbarukan menjadi 51% di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan melakukan kaji ulang pensiun dini pada 9,2 GW PLTU batubara, upaya tersebut belum cukup ambisius untuk mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini, sesuai Persetujuan Paris. Lebih lanjut, komitmen ini perlu diterjemahkan dengan rencana implementasi yang jelas di tahun 2022.

“Memang pada 2021 sudah ada beberapa dokumen kebijakan yang dikeluarkankan seperti LTS dan RUPTL, namun kami menilai target-target tersebut masih jauh dari cukup untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1.50C. Selain itu, penting untuk dilakukan perubahan terhadap beberapa regulasi seperti tarif energi terbarukan, serta mekanisme lelang dan pengadaan yang lebih terjadwal dan transparan dari PLN, supaya target-target tersebut dapat tercapai,” ujar Julius Christian, Peneliti & Spesialis Bahan Bakar Bersih sekaligus Penulis Utama laporan IETO 2022.

Sementara dari segi sosial, berdasarkan hasil survei yang IESR lakukan terhadap 1000 responden, terdapat peningkatan kesadaran dan dukungan untuk bertransisi energi ke energi bersih. Sebanyak 56% responden yang (sangat) setuju jika Indonesia berhenti menggunakan batu bara untuk pembangkit listrik. Tiga sumber energi terbarukan tertinggi yang mendapat dukungan publik tertinggi adalah matahari (68%), air (60%), dan angin (39%).

IESR dalam laporan IETO 2022 mendorong pemerintah Indonesia untuk menangkap sentimen positif dari masyarakat Indonesia terhadap energi terbarukan melalui kerja sama dengan pihak swasta, industri, dan pemerintah provinsi di Indonesia. Beberapa provinsi di Indonesia seperti DKI Jakarta, Bali, Jawa Tengah dapat menjadi acuan dan pelajaran bagi provinsi lain dalam mengembangan lebih banyak lagi porsi energi terbarukan.

Fokus tahun 2022 dapat ditujukan untuk kebijakan dan regulasi yang meningkatkan transparansi proses lelang energi terbarukan, alokasi risiko yang jelas melalui standarisasi Project-Based Learning (PJBL) dan memperbaiki bankability proyek-proyek energi terbarukan dengan instrumen derisking. Proses perizinan yang lebih efisien dan tepat waktu serta suku bunga yang lebih rendah untuk pinjaman proyek juga merupakan faktor penting untuk memangkas biaya pendanaan awal dan memperbaiki iklim investasi.(RA)