JAKARTA – Pemerintah menuding peningkatan impor bahan bakar minyak (BBM), khususnya untuk memenuhi konsumsi solar yang makin besar menjadi penyebab utama defisit neraca perdagangan di sektor minyak dan gas.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan salah satu penyebab defisit neraca migas akibat impor migas, terutama minyak yang lebih besar dibanding ekspor migas.

Ekspor migas justru turun lantaran beberapa blok migas yang produksinya di ekspor kini digunakan di dalam negeri. Misalnya, Blok Mahakam yang semula dikelola PT Total E&P Indonesie beralih ke PT Pertamina (Persero) per 1 Januari 2018.

Tingginya angka impor minyak juga disebabkan peningkatan konsumsi minyak jenis solar banyak dikonsumsi oleh kendaraan pertambangan batu bara yang kinerja produksinya terus didorong.

“Apakah impor turun, harusnya impor turun. Tapi impor naik kan? Impor naik ada dua, kegiatan ekonomi yang naik, misalnya, dulu yang BBM solar, kita produksi RKAB dari tahun lalu ke tahun sekarang naik kan 20%. Ini impor BBM naik, iya,” kata Arcandra di Kementerian ESDM Jakarta, Senin (17/9).

Dia menambahkan, untuk menekan impor migas Kementerian ESDM telah mengeluarkan kebijakan, kewajiban penawaran minyak bagian kontraktor kepada Pertamina. Potensi minyak bagian kontraktor yangvbisa dibeli Pertamina mencapai 225 ribu-230 ribu bph.

Minyak tersebut kemudian diolah di fasilitas pengolahan minyak (kilang) dalam negeri untuk diubah menjadi BBM, sehingga akan menurunkan impor BBM.

“Ini potensi yang akan dibeli oleh Pertamina atau kilang lokal untuk diolah dalam negeri. Kira-kira untuk memperbaiki neraca kita,”ungkap Arcandra.

Salah satu harapan dari kebijakan penawaran minyak ke Pertamina bukan hanya dari sisi nilai impor, tapi juga dari sisi efisiensi biaya transportasi impor minyak.

“Berapa cost kalau kita impor dari west Afrika? US$ 4 – 5 per barel. Malau impor costnya US$ 4 per barel, maka bisa enggak lebih murah dengan entitlement dari KKKS. Kalau lebih mahal, maka harganya kan gak begitu besar. Jadi gak ada manfaatnya. Kan pertamina bayar tetap pakai dolar. Nah ini bedanya cuman nilainya dan cost of transport,” papar Arcandra.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan Agustus sebesar US$ 1,02 miliar, realisasi ini sebenarnya menyusut dibandingkan defisit perdagangan Juli lalu sebesar US$ 2 miliar. Defisit dipicu oleh defisit sektor migas US$1,66 miliar, walaupun sektor nonmigas surplus US$ 0,64 miliar.

Impor migas Agustus 2018 mencapai US$ 3,05 miliar atau naik 14,50% dibanding Juli 2018, sementara ekspor migas turun 3,27% menjadi US$1,38 miliar.(RI)