JAKARTA – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) kembali bergulir. Parlemen diketahui tengah memfinalisasi RUU sebelum mengirimkan drafnya kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Salah satu pokok aturan yang ada dalam RUU tersebut adalah mengenai ketentuan transisi energi yang akan memakan waktu 10 tahun sebelum target Net Zero Emission bisa tercapai.

Supratman Andi Agtas, Ketua Badan Legislasi DPR RI, menjelaskan parlemen konsen dalam pengembangan EBT, karena saat ini seluruh masyarakat dunia sudah memasuki sebuah masa dimana Paris Agreement menjadi komitmen dunia dan komitmen kita bersama bahwa di tahun 2050 penggunaan energi fosil akan hilang.

“Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT, kesepakatan yang sudah diambil teman teman di Komisi VII DPR RI maka akan ada masa transisi yang akan masuk di dalam Rancangan Undang-Undang ini, masa transisi itu kurang lebih 10 tahun jadi kita berharap nanti di tahun 2060 penggunaan energi fosil itu nanti akan benar-benar tergantikan dengan energi baru maupun terbarukan,” ujar Supratman (15/12).

Dalam RUU juga dimasukan kewajiban gasifikasi pembangkit listrik PLN yang masih menggunakan BBM. Menurut Supratman di dalam RUU yang akan diserahkan kepada Pemerintah tersebut dimasukkan juga masa transisi penggunaan solar sebagai bahan bakar pembangkit ke EBT karena meskipun kecil namun subsidi yang diberikan Pemerintah cukup besar.

“Kita minta kepada PLN untuk menggantikan pembangkit listrik yang menggunakan solar di daerah terluar dan pedesaan-pedesaan digantikan dengan energi baru terbarukan termasuk kemungkinan-kemungkinan digantikan dengan gas kolaborasi antara Pertamina dengan PLN untuk menggantikan pembangkit solar dengan gas,” ungkap Supratman.

Arifin Tasrif, Menteri ESDM, menegaskan pemerintah mendukung agar RUU EBT segera disahkan menjadi Undang – Undang. RUU EBT diharapkan akan memberikan kepastian hukum, menyelaraskan Peraturan Perundangan terkait, memperkuat kelembagaan dan tata kelola pengembangan EBT, menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investor EBT, serta dapat mengoptimalkan sumber daya EBT dalam mendukung pembangunan industri dan ekonomi nasional.

“Apabila DPR RI selaku inisiator telah menyampaikan RUU EBT kepada Presiden RI, maka Pemerintah akan menindaklanjuti berupa penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM),” ujar Arifin.

Beberapa isu strategis yang menjadi perhatian publik dan perlu menjadi perhatian untuk dibahas dan diputuskan dalam penyusunan RUU EBT antara lain, pertama, ruang lingkup pengaturan dalam RUU EBT, mencakup energi baru dan energi terbarukan atau hanya energi terbarukan.

Kedua, debottlenecking regulasi yang menghambat pengembangan EBT. Selain itu diperlukan pengaturan mekanisme penyaluran melalui skema Power Wheeling untuk lebih memberikan ruang bagi kerjasama penyediaan dan pemanfaatan EBT antar badan usaha.

Ketiga, pengaturan standar portofolio energi terbarukan dan perdagangan karbon dalam substansi RUU EBT sejalan dengan telah adanya ketentuan mengenai pajak karbon dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan ketentuan mengenai nilai ekonomi karbon dalam Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon.

Arifin juga mengatakan diperlukan pengaturan terkait transisi energi dari sumber energi fosil menjadi energi baru dan terbarukan untuk mencapai target pemanfaatan EBT dalam Bauran Energi Nasional sebesar 23% pada tahun 2025.

Pemerintah kata Arifin mendukung substansi pokok sebagaimana telah dirumuskan dalam RUU EBT seperti pengaturan mengenai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang disesuaikan dengan kemampuan industri dalam negeri serta memperhatikan competitiveness harga EBT, kewajiban pembelian tenaga listrik EBT, insentif pengembangan EBT, pemenuhan standar portofolio energi terbarukan dan kewajiban untuk membeli sertifikat energi terbarukan. “Lalu harga dan subsidi EBT, dan partisipasi masyarakat,” kata Arifin. (RI)