JAKARTA – Pemerintah menyatakan hilirisasi sektor mineral dan batu bara (minerba) menemui tantangan berat. Tidak hanya dari sisi kebutuhan investasi, namun juga dari sisi kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang ternyata juga masih kurang untuk bisa mengejar target hilirisasi yang dicanangkan.

Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi,  mengungkapkan industri hilirisasi kekurangan tenaga kerja lulusan sarjana dan diploma dalam bidang teknik.

Berdasarkan data dari Kementerian Ristek Dikti yang dipaparkan dalam kesempatan Rakor terkait Hilirisasi Industri Logam dan Pengembangan Sumber Daya Alam bersama lintas Kementerian dan Perguruan Tinggi terkait, pada 2025 Indonesia diproyeksi akan membutuhkan 276.298 lulusan sarjana teknik dan 458.876 lulusan vokasi teknik. Sedangkan ketersediaan untuk S1 diproyeksi hanya berjumlah 27.721 dan D3 5.634 orang.

“Artinya akan ada kekurangan tenaga S1 teknik sebesar 248.577 dan D3 Teknik 453.243 pada 2025. Dan menurut data BPS pada 2019, mayoritas tenaga kerja di Indonesia berpendidikan SD ke bawah dengan jumlah sebesar 52,4 juta orang. Berikutnya adalah lulusan pendidikan SMA dengan 23,1 juta orang, SMP 22,9 juta orang, lalu SMK 14,6 juta orang, kemudian baru Sarjana dengan 12,61 juta dan Diploma I/II/III dengan 3,6 juta orang,” kata Luhut, Rabu (3/6).

Indonesia kata Luhut sebenarnya sudah mulai membangun industri yang punya nilai tambah seperti di Morowali, Konawe dan Weda Bay. Industri yang terintegrasi mulai dari nikel sampai turunannya sudah mulai dilakukan. Bahkan lewat proses daur ulang, kandungan kobalt dari baterai bekas masih dapat dimanfaatkan. Dengan 99,3% komponen yang dapat didaur ulang, ke depan masih dapat dikembangkan hingga menjadi “zero waste”. Pengembangan industri nilai tambah seperti inilah yang diharapkan dapat berkontribusi memulihkan perekonomian negara dengan mengatasi permasalahan Current Account Deficit (CAD) secara cepat.

“Dalam hal investasi, seperti yang kami selalu tekankan bahwa kita pun membuka diri untuk bekerja sama dengan semua negara yang ingin kerja sama dengan Indonesia sebagai pemilik raw material,” ungkap Luhut.

Salah satu sektor yang menjadi fokus pemerintah dalam skenario pemulihan ekonomi di Indonesia pasca pandemi Covid-19 adalah hilirisasi minerba. Namun, menurut Luhut setelah mendengar beberapa paparan dari para akademisi dan peneliti, ada tantangan cukup serius dalam mengembangkan industri hilirisasi yang dihadapi Indonesia, yaitu kekurangan SDM yang ahli di bidang industri hilirisasi tentu bisa menghambat rencana pengembangan industri hilirisasi itu sendiri.

Padahal, industri hilirisasi membutuhkan lulusan sarjana dan vokasi teknik dalam jumlah yang sangat besar. Untuk itulah pemerintah ingin semua pihak untuk fokus menyiapkan program pengembangan SDM untuk kebutuhan industri yang terintegrasi. Harus ada koordinasi yang solid antara Kemendikbud, Kemenperin, Kemenaker serta kementerian dan lembaga terkait lainnya untuk merumuskan kebijakan dan program pengembangan studi serta kurikulum pendidikan vokasi khususnya terkait Industri logam.

“Kepada semua Kementerian/Lembaga, saya berharap ada kepaduan dalam merumuskan kebijakan ini. Tidak bisa ada satu sektor yang merasa dirinya yang paling mengatur karena yang harus dikedepankan adalah kepentingan nasional. Jadi tidak bisa hanya bermuara pada kepentingan sektoral,” kata Luhut.(RI)