JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan jumlah kewajiban penyaluran batu bara untuk kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) maksimal sebesar 25% dari total produksi batu bara nasional. Jumlah tersebut berubah dan lebih kecil dari rencana pemerintah sebelumnya sebesar 26% atau sebesar 128 juta ton dari produksi batu bara nasional yang mencapai 490 juta ton.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, mengatakan meskipun serapan batu bara nasional tidak akan mencapai batas maksimal yang ditetapkan, pemerintah tetap mematok 25% untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan. “DMO itu prinsip pokoknya maksimum 25%. Itu saja, mesti lebih kecil pun kami tetapkan 25% karena untuk jaga-jaga,” kata Bambang di Kementerian ESDM, Senin (1/4).

Untuk produksi batu bara tahun ini sebelumnya dipatok 490 juta ton, naik 5 juta ton dibandingkan target pada tahun lalu sebesar 485 juta ton. Jika ditetapkan maksimal 25% maka DMO ditargetkan sebesar 122,5 juta ton. Sebagian besar alokasi DMO akan diserap PT PLN (Persero) untuk memenuhi kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Dalam data Kementerian ESDM, produksi batu bara dalam empat tahun terakhir naik turun. Pada 2018, produksi batu bara mencapai 528 juta ton atau tertinggi sejak tahun 2014. Pada 2014, produksi batu bara sebesar 458 juta ton.  Produksi kemudian naik menjadi 461 juta ton pada tahun berikutnya. Namun turun pada 2016 menjadi 456 juta ton. Tren peningkatan produksi kembali terjadi pada 2017 dengan realisasi mencapai 461 juta ton.

Pada tahun lalu, DMO ditargetkan sebesar 121 juta ton, namun yang terealisasi hanya 115,29 juta ton.

Bambang mengatakan penetapan DMO akan segera dilegalkan. Perubahan rencana serapan batu bara di revisi dari rencana awal karena pemerintah menilai berdasarkan evaluasi tahun lalu kebutuhan batu bara nasional juga tidak mencapai target DMO. “Maksimal 25%, itu sudah cukup. Kebutuhan hanya 115 juta tahun lalu,” kata Bambang.(RI)