JAKARTA – Pemerintah berencana  memberikan kompensasi berupa penggantian biaya produksi dan distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) Khusus  Penugasan, Premium.

Arcandra Tahar,  Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),  mengungkapkan penggantian terhadap biaya-biaya yang ditanggung PT Pertamina (Persero) sebagai badan usaha pelaksana yang ditugaskan menyalurkan BBM Khusus Penugasan sudah diatur dalam regulasi. Itu pun tidak langsung diberikan begitu saja,   tetap harus melalui pembahasan lintas kementerian.

“Lihat saja sesuai aturannya, kan sudah diatur. Kami ikut itu,” kata Arcandra saat ditemui di Kementeiran ESDM Jakarta, belum lama ini.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 43 Tahun 2018 tentang perubahan atas Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak sudah diatur dalam pasal 14 ayat 10 mengenai kemungkinan penggantian biaya oleh pemerintah.

Dalam beleid tersebut, berbunyi dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan auditor yang berwenang dalam satu tahun anggaran terdapat kelebihan dan/atau kekurangan penerimaan badan usaha penerima penugasan sebagai akibat dari penetapan harga jual eceran BBM, yang telah ditetapkan pemerintah dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Serta kemampuan daya beli masyarakat dan ekonomi riil serta kondisi sosial masyarakat, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara menetapkan kebijakan pengaturan kelebihan dan/atau kekurangan penerimaannya setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang badan usaha milik negara.

Berdasarkan informasi dari sumber pemerintah yang diterima Dunia Energi, total kebutuhan biaya untuk penggantian produksi maupun distribusi Premium sepanjang 2018 yang akan dibayarkan pemerintah kepada Pertamina sebesar Rp51 triliun.

Namun hasil perhitungan itu juga masih butuh proses audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal itu juga yang menyebabkan laporan keuangan 2018 tidak kunjung dirilis oleh Pertamina.

Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Pertambangan Industri Strategis dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengatakan penggantian bisa diberikan jika negara juga memiliki kemampuan keuangan yang mumpuni.

“Tidak full. Itu tidak hanya ongkos pengiriman, tapi biaya-biaya untuk pencampuran, pengiriman,” kata Fajar.

Sektor hilir dalam beberapa tahun terakhir memang menjadi pemicu tergerusnya kinerja keuangan Pertamina. Fajar tidak menampik pengaruh harga BBM yang tidak dinaikkan terhadap keuangan Pertamina cukup besar. “Itu besar (pengaruhnya), harga BBM,” kata Fajar.

Realisasi pendapatan Pertamina pada tahun lalu tercatat tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Sayang, peningkatan laba tersebut tidak diikuti dengan peningkatan laba bersih.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, mengatakan laba bersih perusahaan sepanjang 2018 mencapai sekitar US$ 2 miliar.

Pada 2016, Pertamina meraih pendapatan US$39,81 miliar dan laba bersih US$ 3,15 miliar. Setahun kemudian, pendapatan naik menjadi US$46 miliar, namun laba bersih turun menjadi US$2,41 miliar.(RI)