JAKARTA – Sikap pemerintah yang memberikan isyarat akan rencana kenaikan harga BBM jenis Pertalite serta LPG 3kg bersubsidi dinilai sudah berlebihan dan justru meresahkan masyarakat. Apalagi kebijakan itu terlebih dulu harus dibahas bersama parlemen.

Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi  disela kunjungannya di proyek LRT Jabodebek mengungkapkan, selain bensin Pertamax yang sudah naik, bensin Pertalite, Premium dan gas LPG 3 Kilogram (kg) juga akan mengalami kenaikan secara bertahap sampai September 2022.

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI, menegaskan pemerintah tidak sepatutnya bicara soal rencana kenaikan BBM jenis Pertalite, Premium dan gas LPG 3 kilogram karena masalah itu bukan urusannya sebagai menko marves. Ditambah lagi yang dibicarakan belum pernah dibahas di DPR.

“Pernyataannya membuat resah dan meneror masyarakat dengan serentetan ancaman kenaikan harga-harga sumber energi kebutuhan sehari-hari mereka.Apalagi kalau gas LPG 3 kg dan Pertalite juga ikut dinaikan, yang merupakan hajat hidup orang banyak. Padahal Menteri Keuangan, Sri Mulyani, sendiri bilang tidak akan menaikan harga energi yang membuat market shock,” tegas Mulyanto, Minggu (3/4).

Mulyanto mengatakan Luhut offside dan kebablasan membahas masalah ini. Harusnya yang bicara seperti ini adalah Menteri ESDM atau Menteri Keuangan, sesuai dengan kapasitas dan portofolio kementeriannya. Itupun tidak dengan cara “intimidasi” seperti ini yang dapat membuat resah masyarakat. Apalagi sekarang baru saja memasuki bulan Ramadhan.

“Presiden Jokowi sudah sepantasnya mengingatkan Pak Luhut ini. Agar jangan terlalu banyak mengobral berbagai ancaman kenaikan harga kebutuhan pokok yang akan membuat masyarakat resah. Karena masyarakat masih kesulitan dengan beban yang ada,” jelas Mulyanto.

Dia kecewa dengan pemerintah yang belum menemukan solusi mengatasi persoalan Minyak goreng ditambah dengan kelangkaan solar dan pertalite. “Ini semua semakin menekan kehidupan harian mereka.  Sementara daya beli masyarakat belum pulih benar, karena terdampak pandemi Covid-19,” ujar Mulyanto.

Luhut menyebtukan penyesuaian harga BBM maupun LPG bersubsidi sebagai respon terhadap kondisi harga minyak dunia yang terus tinggi sejak awal tahun ini. Disparitas antara asumsi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dengan kondisi real di lapangan sangat berbeda jauh yang sudah barang tentu akan memberikan dampak terhadap keuangan negara.

Dia menuturkan kenaikan harga BBM tidak bisa terelakkan dengan disparitas asumsi dan harga minyak mentah dunia yang terlalu jauh. “Kita beruntung masih bisa memanage eknomi lebih baik sehingga dampak tidak besar walaupun tetap harus naikan tidak punya pilihan karnea kalau tidak asumsi crude US$63 per barel sekarang US$98 – U$100 per barel angkanya sudah luar biasa,” ungkap Luhut. (RI)