JAKARTA – Dalam rangka mempercepat monetisasi cadangan gas, pemerintah dalam hal ini menargetkan bisa melelang ulang Blok East Natuna di Kepulauan Riau pada awal tahun 2023 mendatang.

Tutuka Ariadji, Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan Proses pengembalian Blok East Natuna ke negara diharapkan rampung tahun ini, sehingga lelang ulang dapat dilakukan pada awal tahun depan. “Kalau bisa selesai tahun ini, awal tahun depan kita umumkan lelangnya,” kata Tutuka (1/12).

Blok East Natuna dikathui mandek pengembangannya selama lebih dari 45 tahun. Percepatan pengembangan blok tersebut memang dikejar pemerintah mengingat saat ini pengembangan migas Indonesia berkejaran dengan waktu, sebelum masanya energi terbarukan.

“Kalau kita tidak cepat mengambilnya saat ini, forget it! Tinggalkan saja karena ke depan, 10 hingga 20 tahun mendatang sudah masanya renewable energy,” ujar Tutuka.

Pemerintah saat ini tengah memproses pengembalian pengelolan Blok East Natuna dari Pertamina ke negara, kemudian setelah itu akan dilakukan tender ulang. “Dulu kan penugasan ke Pertamina, kita kembalikan dulu ke negara. Kemudian kita akan lelang tender terbuka terutama untuk D-Alpha,” kata dia.

Blok East Natuna rencananya akan dibagi menjadi 3 blok, di mana D-Alpha merupakan blok migas yang paling besar.

Untuk menarik investor, Pemerintah juga tengah menggodok insentif khusus blok tersebut. Ïnsentif untuk East Natuna mesti signifikan. Kita sedang hitung, tapi harus menarik sekali,” ujar Tutuka

Blok East Natuna ditemukan tahun 1973 dan hingga saat ini masih belum dikembangkan. Blok East Natuna menyimpan potensi sebesar trilion cubic feet (Tcf) dengan potensi gas yang recoverable sebesar 46 Tcf. Kendala utama pengembangan blok ini adalah kadar CO2 yang mencapai 72%.

Blok ini semula dikelola ExxnMobil dan mendapatkan hak kelolanya tahun 1980. Namun lantaran tidak ada perkembangan, pada tahun 2007 kontraknya dihentikan. Setahun kemudian yaitu tahun 2008, East Natuna diserahkan pengelolaannya ke PT Pertamina. Selanjutnya, ExxonMobil, Total dan Petronas, bergabung. Posisi Petronas kemudian digantikan PTT Exploration and Production (PTT EP) tahun 2012. Sayangnya tahun 2017 konsorsium ini bubar dengan alasan tidak ekonomis dan menyisakan PT Pertamina. Pemerintah pun mengeluarkan instruksi khusus kepada Pertamina untuk bisa kembangkan East Natuna, namun hingga kini tidak ada kelanjutannya. (RI)