Karen Agustiawan (Foto/IST)

JAKARTA – Karen Agustiawan, Direktur Utama Pertamina periode 2009-2014, menegaskan aksi korporasi, termasuk akuisisi yang dilakukan PT Pertamina (Persero) sudah sepatutnya dilindungi pemerintah. Secara regulasi yang berlaku di Indonesia, aksi korporasi dilindungi undang-undang yang bertujuan untuk mengembangkan perusahaan. Tanpa aktivitas aksi korporasi, maka tidak akan ada Pertamina seperti sekarang.

“Aksi korporasi ini harus dibela dan dilindungi pemerintah,” tegas Karen sebelum menjalani sidang pertama di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (31/1).

Karen menjadi tersangka atas kasus investasi Pertamina di Lapangan Basker Manta Gummy (BMG) di Australia pada 2009. Investasi tersebut dianggap Kejaksaan Agung telah merugikan negara.

Pertamina melalui anak usahanya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) pada 2009 mengakuisisi saham sebesar 10% terhadap ROC Oil Ltd, untuk menggarap Blok BMG.

Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase – BMG Project ditandatangani pada 27 Mei 2009 dengan nilai transaksinya mencapai US$31 juta. Seiring akuisisi tersebut, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar US$26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga sebanyak 812 barrel per hari (bph).

Namun ternyata Blok BMG hanya bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup, setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah dengan alasan blok tidak ekonomis jika diteruskan produksi.

Investasi yang sudah dilakukan Pertamina akhirnya tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional.

Hasil penyidikan Kejagung menemukan dugaan penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG. Pengambilan keputusan investasi tanpa didukung kajian kelayakan hingga tahap final due dilligence atau kajian lengkap mutakhir. Diduga direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan dewan komisaris. Akibatnya, muncul kerugian keuangan negara dari Pertamina sebesar US$31 juta dan US$ 26 juta atau setara Rp568 miliar.

Dalam pembacaan dakwaan di sidang pertama ini, jaksa penuntut umum menyebutkan bahwa dewan komisaris Pertamina tidak memberikan izin untuk akusisi, namun hanya mengizinkan untuk belajar bidding dan bukan untuk memenangkan lelang.

Menurut Karen, dakwaan yang dibacakan jaksa janggal. Perusahaan sekelas Pertamina tidak perlu lagi belajar bidding atau tender dalam upaya memenangkan lelang.

“Selama memimpin Pertamina, saya tidak pernah, sekali lagi, tidak pernah merasa bahwa pekerja Pertamina sebegitu rendahnya, sampai bidding saja harus belajar,” tandas Karen.(RI)