JAKARTA– Para pengamat mesti bisa membaca data dan isi kontrak karya (KK) PT Freeport Indonesia (FI) sebelum membuat analisis yang menyesatkan publik. Pembelian saham divestasi Freeport oleh PT Inalum (Persero), holding industri pertambangan nasional, bukan membeli barang milik Indonesia.

Tidak seperti itu, seolah-olah kita membeli Tanah Air kita sendiri,” ujar Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum Rendi A Witular di Jakarta, Senin (24/12).

Inalum pada Jumat (21/12), resmi meningkatkan kepemilikannya di PTFI dari 9,36% menjadi 51% dengan membayar US$3, 85 miliar atau sekitar Rp55 triliun dan menjadi pengendali perusahaan yang memiliki tambang Grasberg di Papua dengan kekayaan emas, perunggu dan perak sebesar Rp2.400 triliun hingga 2041.

PTFI melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan KK dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada 1967 di zaman Soeharto dan diperbarui melalui KK 1991 di zaman Presiden yang sama dengan masa operasi hingga 2021.

Terkait dengan masa operasi tersebut, perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan (FCX), pengendali PTFI, dan pemerintah memiliki interpretasi yang berbeda atas isi pasal perpanjangan.

“Pengertian FCX adalah bahwa KK akan berakhir di tahun 2021 namun mereka berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun (hingga 2041). Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara ‘tidak wajar’ ujar Rendi.

Interpretasi yang berbeda terkait kata “tidak wajar” ini harus diselesaikan di pengadilan internasional (arbitrase). Jika ambil jalur arbitrase dampaknya operasional PTFI akan dikurangi atau bahkan dihentikan. Ini akan berakibat pada runtuhnya terowongan bawah tanah sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi. Tambang Grasberg adalah yang paling rumit di dunia.

Dampak kedua adalah ekonomi Kabupaten Mimika akan terhenti karena sekitar 90% ekonomi mereka digerakan oleh kegiatan PTFI.

“Tidak ada jaminan pula Indonesia dapat menang di arbitrase yang sidangnya dapat berlangsung bertahun-tahun, dan jika kalah bisa pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi jauh lebih besar dari harga divestasi,” ujar Rendi seperti dikutip antaranews.com.

Di KK itu pun tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir, pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan tambang Grasberg secara gratis. KK PTFI tidak sama dengan kontrak yang berlaku di sektor minyak dan gas di mana jika kontrak berakhir langsung dimiliki oleh pemerintah. (DR)