JAKARTA – Sebagai upaya mencapai target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai Persetujuan
Paris, bauran energi terbarukan hingga 41% di sistem ketenagalistrikan pada 2030 perlu dicapai oleh Pemerintah dan PT PLN (Persero). Namun, hingga kini pemerintah Indonesia baru menargetkan 25% bauran energi terbarukan pada 2030. Padahal, inovasi teknologi dan harga energi terbarukan yang semakin kompetitif serta potensi PLTU menjadi aset terbengkalai (stranded asset) merupakan faktor yang memungkinkan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi di 8 tahun mendatang.

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengeluarkan laporan terbarunya berjudul “Enabling high share of renewable energy in Indonesia’s power system by 2030” yang menganalisis RUPTL 2021-2030, kemajuan teknologi dan harga, perubahan harga bahan bakar, dan proyeksi permintaan listrik sehingga mampu memberikan peluang yang lebih luas terhadap integrasi energi terbarukan pada jaringan listrik di Indonesia.

Kajian ini berdasar pada skenario sistem energi Indonesia mencapai net zero emission di 2050, yang selaras dengan target membatasi kenaikan temperatur dibawah 1,5°C sesuai dengan Persetujuan Paris. Pada skenario tersebut, pertumbuhan listrik
diasumsikan mencapai 4,5 % dan ditambah juga dengan penambahan permintaan listrik dari akselerasi elektrifikasi di sektor transportasi dan industri (heating).

Menggunakan model optimasi sistem tenaga listrik yang serupa digunakan oleh PLN, IESR menemukan bahwa kapasitas energi terbarukan di jaringan listrik di tahun 2030 dapat ditingkatkan
menjadi 129 GW energi terbarukan dengan rincian 112,1 GW berasal dari PLTS, 9,2 GW PLTA, 5,2 GW PLTP, 1,5 GW PLTB, dan 1 GW biomassa dalam sistem gabungan Jawa-Bali, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan pun diproyeksi
akan mencapai 32%, 35%, 35%, dan 51% masing-masing di sistem Jawa-Bali, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. PLTS dominan karena selain ketersediaan sumber daya yang besar, ditopang juga dengan harga yang semakin turun, serta kecepatan waktu pembangunan serta dapat
diaplikasikan secara luas, baik di atas atap atau terapung.

Sementara bauran listrik dari PLTU batu bara akan menurun signifikan menjadi hanya 39% di tahun yang sama. Selain itu, untuk mengatasi variabilitas dan intermitensi energi terbarukan dan
mempertahankan keandalan sistem, Indonesia dapat mengoptimalkan pembangkit gas dan membangun penyimpanan energi (baterai).

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan temuan dari kajian ini jauh lebih besar dibandingkan rencana pengembangan energi terbarukan di
RUPTL 2021-2030 yang hanya menargetkan 20,9 GW.
”Hasil kajian IESR ini sangat relevan dengan persetujuan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diumumkan di G20 lalu. Target dari JETP adalah bauran energi terbarukan 34 %
di 2030. Melalui kajian ini ditunjukan bahwa penetrasi pembangkit energi terbarukan di sistem kelistrikan kita dimungkinkan tanpa berdampak pada keandalan sistem dan biaya produksi listrik,” kata Fabby.

Hasil analisis IESR menunjukkan bahwa walau dengan penetrasi energi terbarukan yang tinggi, reserve margin (persentase kapasitas terpasang tambahan terhadap permintaan puncak tahunan)
tetap pada batas ideal PLN yakni minimal sekitar 30%. Kajian ini juga melakukan analisis aliran daya dan analisis stabilitas frekuensi sistem pada sistem kelistrikan Jawa-Bali dan Sulawesi di
tahun 2030. Hasilnya, memang membutuhkan upgrade pada beberapa gardu induk agar daya dapat dialirkan dengan baik. Namun kebutuhan tersebut dapat diminimalisasi dengan distribusi pembangunan pembangkit energi terbarukan. Stabilitas frekuensi pun masih tercapai dan memenuhi grid code (aturan jaringan) Indonesia.

Salah satu kunci integrasi energi terbarukan adalah peningkatan fleksibilitas operasi jaringan,
diantaranya dengan menerapkan pengoperasian PLTU secara fleksibel.
“Intermitensi dari energi terbarukan merupakan tantangan, tetapi ada banyak opsi strategi yang dapat dikaji untuk diterapkan di Indonesia. Misalnya, saja pemanfaatan energy storage seperti
baterai dan juga forecasting (prediksi) energi terbarukan yang lebih akurat. Operasi sistem perlu diubah untuk mengakomodasi hal tersebut,” ungkap Akbar Bagaskara, Penulis Utama laporan
Enabling high share of renewable energy in Indonesia’s power system by 2030.

Kapasitas jaringan transmisi dan distribusi perlu pula ditingkatkan untuk memastikan kelancaran pasokan listrik dari energi terbarukan, terutama di sistem Jawa-Bali dan Sulawesi.
IESR memandang integrasi energi terbarukan yang lebih tinggi di sistem ketenagalistrikan perlu didorong oleh pembuat kebijakan di Indonesia dengan menerbitkan peraturan yang mendukung
akselerasi pengembangan energi terbarukan, mempercepat elektrifikasi di sektor industri, menetapkan aturan pengoperasian PLTU yang fleksibel, serta mendukung pengembangan industri
panel surya dalam negeri.

Tidak hanya itu, PLN selaku perusahaan utilitas ketenagalistrikan perlu pula secara aktif mengembangkan infrastruktur dan operasi jaringan menjadi operasi jaringan yang lebih fleksibel untuk memungkinkan integrasi energi terbarukan yang tinggi.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR, mengatakan perlunya perubahan paradigma operasi sistem kelistrikan ke operasi fleksibel, bukan lagi baseload.
“Tentunya perlu disusun kerangka operasi sistem kelistrikan yang dapat memberikan insentif untuk aset yang dapat memberikan jasa untuk menjaga kehandalan jaringan atau ancillary services. Desain dari kerangka ini perlu disusun dari sekarang agar siap diimplementasikan ketika bauran
energi terbarukan mulai bertambah dengan cepat,” ujar Deon.(RA)