JAKARTA – Keterpurukan industri migas Indonesia dimulai ketika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas diterbitkan. Sejak saat itu banyak investor berangsur-angsur mengurangi investasi, sehingga mengakibatkan realisasi produksi migas nasional terus menurun.

Nanang Untung, Tenaga Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan terbitnya aturan tersebut membuka peluang adanya berbagai perpajakan baru,  sehingga prinsip assume and discharge justru tidak lagi diberlakukan. Hilangnya prinsip assume and discharge tersebut menyebabkan aturan perpajakan tidak lagi bersifat lex specialist, sehingga tidak diterapkan secara utuh di dalam kontrak kerja sama. Semula, prinsip assume and discharge hanya mewajibkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) membayar pajak langsung berupa pajak penghasilan (PPh), pajak atas bunga dividen dan royalti.

Selain itu, KKKS tidak berkewajiban membayar pajak dan pungutan lain yang bersifat tidak langsung, termasuk migas bagian pemerintah telah masuk dalam komponen pajak. Dicabutnya prinsip assume and discharge juga membuat KKKS harus mengurus sendiri atas segala hal, baik terkait birokrasi maupun administrasi.

Menurut Nanang, aturan perpajakan yang telah disepakati di atas kontrak seharusnya dapat dihormati bersama sehingga tidak mudah berubah. Pasalnya dengan tidak dihormatinya kontrak kerja sama bakal menggangu investasi hulu migas di dalam negeri.

“Undang-undang itu membuat adanya peluang sistem perpajakan baru, dengan adanya UU itu assume and discharge jadi hilang,” kata Nanang disela Diskusi Investasi Hulu Migas yang digelar Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) di Jakarta, Rabu (11/3).

Marjolijn Wajong, Direktur Eksekutif Indonesia Petroleum Association (IPA), mengatakan dari sisi pelaku usaha, jika ingin mempertahankan produksi apalagi untuk menaikkan produksi maka harus ada upaya luar biasa, tidak hanya dari sisi industri hulu migas tapi seluruh pihak termasuk pemerintah. Pemerintah memiliki peranan penting karena akan menentukan keberlangsungan investasi ke depan. Salah satu faktor yang harus diperhatikan adalah daya saing atau competitiveness.

“Kita seringkali merasa sudah berusaha begini, tapi toko (negara) sebelah usahanya lebih. Jadi jangan ukur diri sendiri. ukur dengan orang lain,” kata Marjolijn.

Salah satu yang mempengaruhi daya saing tentu saja kebijakan pemerintah dan bagaimana pemerintah menghormati kesucian kontrak (saincity of contract). Sayang, yang terjadi di Indoenesia kesucian kontrak terkadang tidak dihormati karena adanya perubahan ditengah kontrak yang sedang berjalan demi kepentingan jangka pendek. Misalnya, adanya aturan baru terkait harga gas untuk industri, belum lagi dengan ketentuan kewajiban menjual minyak ke dalam negeri.

“Investor sudah punya ancang-ancang, oh iya minyak dari sini mau dibawa ke refinery atau mau bisnis apa. Tahunya dengan kata yang lebih manis harus dijual di sini (dalam negeri). Lain kalau dikontrak enggak bilang begitu, harusnya dibicarakan dulu, jangan langsung bikin Permen dan tabrak kontrak,” kata Marjolijn.(RI)