JAKARTA – Energi konvensional seperti migas mendapatkan tantangan berat dengan kehadiran Energi Baru Terbarukan (EBT). Indonesia sendiri sudah menetapkan bakal menggunakan EBT sebagai pemasok utama kebutuhan energi tanah air. Tapi di sisi lain, pemerintah juga terlanjur menetapkan target besar produksi migas yakni sebanyak 1 juta barel per hari (bph) minyak serta 12 ribu juta kaki kubik per hari (MMscfd) produksi gas.

Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK MIgas), menegaskan meskipun perkembangan EBT sangat masif tapi dia menjamin target produksi migas tetap ada dan penting. Menurut Dwi meskipun banyak yang memandang sebelah mata sektor hulu migas ke depan tapi mau tidak mau dan harus diakui sektor hulu migas masih memegang porsi cukup signifikan dalam bauran energi nasional.

“Oil gas bukan hanya untuk nenergi tapi ada bahan baku industri meskipun andai-andai someday EBT sudah bisa memenuhi energi maka kebutuhan bahan baku industri, petrokimia sangat besar akan bergeser ke arah sana. Jangan kawhatir,” ungkap Dwi dalam Konferensi Pers di Jakarta, Jumat (22/4).

Menurut Dwi, sampai saat ini EBT juga masih dihadapkan dengan pada tantangan harga. Energi konvensional masih memiliki keunggulan dari sisi keterjangkuan. “Kita tahu bahwa EBT masih hadapi harga persaingan harga kalau bicara pengganti migas makanya harusnya dapat insentif-insentif dan sekarang kita lihat saja lagi ramai lembaga finansial gamau danai energi konvensional. Tapi EBT-nya belum siap,dampaknya langsung harga naik. Karena proyek belum siap begitu nggak ada tambahan produksi migas itu menjadikan tentu bagian dari kehkawatiran orang,” jelas Dwi.

Berdasarkan proyeksi kebutuhan energi Indonesia pada 2050 mendatang, porsi minyak mencapai 20% atau turun dari besaran 29% pada 2020. Kendati demikian, secara konsumsi diprediksi meningkat mencapai 139%.

Sementara itu untuk sektor gas porsinya memang bakal meningkat dari 21% pada 2020 menjadi 24% pada 2050 mendatang. Konsumsi gas bakal meningkat mencapai 298%.

Sektor gas akan jadi pemain utama dalam masa transisi energi. Apalagi dengan hadirnya Permen ESDM soal harga gas khusus untuk industri maka kebutuhan gas diprediksi masih memegang peranan signifikan ke depannya.

“Kalau saya kembalikan kepada target 1 juta barel, masih sangat relevan. Kita masih kekurangan di minyak. Kalau di gas jika kita bisa berlebih ini bisa jadi potensi cadangan devisa untuk ekspor,” ungkap Dwi. (RI)