JAKARTA – Industri nikel akan membuat standarisasi nasional maupun internasional dalam hal produksi, lingkungan, dan sosial. Standar ini diharapkan bisa terwujud dalam waktu dekat agar tidak ada lagi kampanye negatif yang dipesan pihak-pihak tertentu untuk menghentikan kebijakan hilirisasi mineral yang sudah berjalan.
Standarisasi ini akan mirip dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) atau Indonesian Sustainable Palm Oil di industri sawit, atau industri kayu dengan Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey, mengungkapkan APNI akan membuat satu forum diskusi dengan mengundang 30 negara mineral producers country untuk merumuskan standarisasi Environmental, Social, and Governance (ESG) untuk industri mineral.
“Kami minta tolong dari government, melalui Kementerian Luar Negeri mengundang seluruh KBRI, negara penghasil mineral, bukan hanya nikel saja. Hasil dari sana kita mau meniru gaya sawit dulu. Kita bikin kayak RSPO, ISPO, atau seperti SFLK kayu,” kata Meidy.
Forum ESG yang rencananya akan digelar awal Juni mendatang akan membuat satu kesepakatan antara negara penghasil mineral dan para market untuk membuat sertifikat standarisasi. “Indonesia mempunyai 27 critical minerals dan 22 strategic minerals yang harus kita kelola biar tidak terjadi black campaign seperti apa yang dialami nikel,” ungkap dia.
Muhammad Toha, Ketua Bidang Kajian Mineral Strategis, Mineral Kritis dan Hilirisasi Mineral Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengatakan isu soal ESG seringkali dijadikan pihak-pihak tertentu sebagai alat agar Indonesia menghentikan kebijakan hilirisasi mineral.
“Kita tidak menolak perbaikan-perbaikan untuk bisa membuat industri ini menjadi lebih green, lebih friendly, lebih ramah lingkungan dan arahnya kesana. Makanya itu Perhapi dan APNI juga merumuskan soal standarisasi mineral,” kata Toha, Selasa (20/5).
Dia mengatakan, dalam menjaga ESG industri nikel punya keinginan yang sama dan komitmen yang sama untuk bagaimana kegiatan penambangan, pengolahan nikel ini mempunyai environmental responsibility dan social responsibility yang baik, sehingga kegiatan penambangan dan pengolahan menjadi lebih tersistem dan lebih berkelanjutan.
“Tapi tolong jangan jadikan kampanye soal lingkungan itu sebagai hidden agenda untuk membatasi kegiatan hilirisasi. Seringkali yang terjadi adalah ESG itu dijadiin senjata untuk membatasi negara-negara tertentu untuk mengarah ke industrialisasi,” ungkap Toha.
Ketua Umum Lingkar Nusantara (LISAN) Prabowo, Hendarsam Marantoko, mengatakan investasi di sektor nikel harus dikawal secara kolektif sebagai bagian dari agenda besar bangsa. Dengan hilirisasi, nilai tambah yang dihasilkan dari komoditas tambang tidak lagi langsung diekspor ke luar negeri, melainkan menjadi motor penggerak ekonomi domestik.
“Bangsa kita tidak akan mundur dari agenda hilirisasi. Ini adalah jalan menuju negara yang berdaulat, berdikari, dan maju. Untuk nikel, tekanan dari luar tidak akan menghentikan langkah kita,” tegasnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia, mengatakan tantangan Indonesia saat ini adalah potret industri pertambangan yang banyak diwarnai oleh perusahaan-perusahaan yang tidak patuh sehingga akhirnya yang terkena dampak adalah perusahaan-perusahaan yang patuh yang memiliki visi jangka panjang.
“Padahal ada yang bagus-bagusnya, yang world class. Kalau untuk nikel, Harita Nickel dan Vale Indonesia juga bagus,” ungkap dia.
Hendra mengatakan bahwa IMA akan merumuskan kebijakan yang memberikan reward kepada perusahaan tambang yang patuh dalam aspek produksi, lingkungan, dan sosial. Reward ini penting diberikan agar perusahaan tambang semangat dalam berbisnis dan menjalankan aturan. “Reward itu bisa berupa kemudahan dalam berbisnis, jangan dipersulit. Sekarang itu antara yang patuh dan tidak patuh sama saja. Buat RKAB, sama saja antrean persetujuannya,” kata dia.(AT)
Komentar Terbaru