JAKARTA – Dorongan pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengembangkan potensi shale gas terus dilakukan. Salah satu mengajak KNOC (Korea National Oil Corporation) asal Korea Selatan untuk ikut melakukan pencarian cadangan dan monetisasi shale gas.

Tutuka Ariadji, Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESMD), mengungkapkan minat KNOC untuk melakukan kajian potensi shale gas tanah air diungkapkan disela The 12 Indonesia-Korea Energy Forum (IKEF).

“Secara umum, kedua negara sepakat untuk meningkatkan kerja sama di sektor energi. Khusus kerja sama di subsektor migas, Indonesia mengajak Korea untuk bekerja sama mengembangkan shale gas di lapangan-lapangan migas Indonesia,” kata Tutuka (4/11).

Selain pengembangan shale gas, Indonesia juga mengajak Korea mengembangkan teknologi shale gas dan pemanfaatan laboratorium LEMIGAS Kementerian ESDM untuk analisis shale hydrocarbon.

“Kedua negara juga mendiskusikan kolaborasi feasibility study terkait shallow biogenic gas production and combined application,” ungkap Tutuka.

Sebelumnya Benny Lubiantara, Deputi Perencanaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), pernah mengungkapkan bahwa pengembangan Migas Non Konvensional (MNK) secara ekonomis dengan rezim fiskal yang lebih atraktif harus mulai dilakukan.

Pengembangan migas non- konvensional (MNK) akan semakin menantang, mengingat banyak perusahaan migas internasional yang telah menyatakan strategi “net zero” di tahun 2050. Dengan demikian, pengembangan migas non konvensional (MNK) akan berpacu dengan waktu.

Menurut Benny secara skema komersialitas, MNK sangat berbeda dengan migas konvensional. Produksi dari satu sumur MNK umumnya relatif kecil dan cepat turun, sehingga perlu pemboran yang masif sepanjang umur proyek untuk mempertahankan tingkat produksi, ditambah lagi untuk membuat minyak dan gas tsb dapat mengalir, diperlukan pekerjaan fracturing pada lapisan migas di reservoir tersebut.

Untuk mencapai tingkat keekonomian proyek memerlukan terms & conditions fiskal yang berbeda yang lebih menarik dari migas konvensional.

Mengingat potensi sumber daya MNK ini cukup besar, dan berdasarkan tantangannya. Ini saat nya untuk memulai MNK hingga diharapkan dapat membantu mencapai pencapaian target produksi dalam bbrp tahun kedepan.

“Dengan kecenderungan perkembangan industri migas kedepan, maka pengembangan MNK perlu segera, Now or Never, sekarang atau tidak sama sekali karena momentumnya sudah hilang,” ungkap Benny.

Sebagai informasi, pertemuan bilateral RI-Korsel diawali tahun 1979 yang membahas kebijakan energi, perdagangan LNG, minyak mentah, produk-produk kilang, batubara serta kerja sama sektor energi kedua negara. Pada periode 1979-2006 telah dilakukan pertemuan bilateral energi melalui mekanisme Joint Committee on Energy.

Pada perkembangannya, sesuai kesepakatan kedua pihak untuk meningkatkan dan mengintensifkan kerja sama di sektor ESDM yang melibatkan sektor swasta, ditandatangani MoU tentang pembentukan Energy Forum antara KESDM dengan Ministry of Commerce, Industry and Economy Korea. Sejak saat itu, Joint Committee on Energy bertransformasi menjadi Indonesia-Korea Energy Forum (IKEF) di bawah koordinasi Ditjen Migas (selaku focal point kerja sama RI-Korea) dan Ministry of Knowledege Economy (MKE), yang sekarang berubah struktur organisasi menjadi Ministry of Trade, Industry and Energy (MOTIE). (RI)