JAKARTA – Iklim investasi sektor minyak dan gas di Indonesia diprediksi tidak akan kunjung membaik justru akibat kebijakan pemerintah sendiri. Pemerintah dinilai masih belum bisa memberikan kepastian usaha kepada pelaku usaha.

Kardaya Warnika, Anggota Komisi VII DPR, mengatakan iklim investasi sangat berhubungan dengan kepastian usaha, namun saat ini pemerintah justru menggantung para investor. Salah satu contoh, berlarutnya keputusan proyek Indonesian Deepwater Development (IDD) yang digarap PT Chevron Pacific Indonesia yang tidak kunjung ada kepastian dilanjutkan atau tidak dari pemerintah, padahal ada ketentuan Undang – Undang jika suatu blok telah diberikan kepada kontraktor namun tidak ada kegiatan hingga lima tahun, maka blok itu harus dikembalikan kepada pemerintah.

“Chevron sudah memberikan pernyataan bahwa di Kalimantan Timur (Blok East Kalimantan) kalau diperpanjang pun dia tidak mau. Ini sesuatu pernyataan yang menohok. Permasalahannya kenapa? Lalu saya dengar CNOOC juga begitu. Kemungkinan karena mereka itu terkait kepastian hukum disini. Mungkin karena dia (Chevron) mengajukan program IDD sudah enam tahun tidak ada keputusan diterima atau tidak. Kalau tidak ada keputusan kan investor bingung,” kata Kardaya di Jakarta, Selasa.

Kasus tercederainya kepastian kontrak lainnya yang nyata adalah dalam pengembangan blok Masela. Pemerintah sebelumnya telah mneyetujui Plan of Development (PoD) Masela dengan mekanisme offshore, tapi ditengah jalan pihak Inpex mengajukan penambahan kapasitas produksi dari 2,5 MTPA menjadi 7,5 MTPA LNG. Pemerintah bisa saja menerima atau menolak akan tetapi diterima dengan offshore.

Namun ditengah pembahasan ternyata skema pengembangannya dirubah pemerintah menjadi onshore. Padahal dalam kontrak yang ada sudah offshore.

“Pemerintah mengumumkan onshore. Ini pasti yang terpengaruh bukan hanya Inpex dan Shell, tapi perusahaan besar lainnya pasti takut melihatnya,” tukas Kardaya.

Selain itu ditengah ketidakpastian tersebut, skema kontak di Indonesia berubah fundamental melalui gross split.

Menurut Kardaya, skema gross split pada dasarnya sudah disuarakan sejak 10 tahun lalu untuk bisa digunakan di Indonesian, namun bukan seperti gross split yang sekarang diterapkan pemerintah.

Tujuan penerapan skema gross split agar kontrak yang ada menjadi lebih simpel, transparan, serta mengurangi birokrasi juga mengurangi kegaduhan.

Sayang pada implementasi sekarang ternyata gross split jauh berbeda dengan gross split yang lumrah digunakan di industri perminyakan.

Kardaya menilai penerapan gross split di Indonesia sekarang bisa dibilang sebagai kelinci percobaan.

“Sekarang kenyataannya gross split tidak gross split yang biasa digunakan di dunia perminyakan.  Inilah yang namanya gross split Indonesia. Pasti yang menentukan itu orang yang tidak paham terhadap industri migas. Ini kita dibikin seperti kelinci percobaan. Kalau mau melakukan percobaan silahkan, tapi jangan di dunia ini (migas),” papar Kardaya.

Pri Agung Rakhmanto, Ketua I Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), mengatakan kondisi kontrak gross split sekarang jauh dari yang diharapkan. Padahal jika diterapkan dengan tepat, gross split seharusnya lebih sederhana dari skema cost recovery.

“Gross split yang benar itu harusnya sederhana, mirip tax royalty system. Kalau dicampuradukkan, esensi penyederhanaan tidak ada lagi,” tandasnya.(RI)