JAKARTA – Peta potensi teknis yang komprehensif dinilai perlu disiapkan untuk mendukung transisi energi menuju pemanfaatan 100 persen energi terbarukan dan mencapai Indonesia bebas emisi pada 2050. Data potensi teknis energi terbarukan Indonesia masih merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 443,2 Gigawatt (GW).

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan data tersebut belum dimutakhirkan sejak 2014. Selain itu, data RUEN juga jauh lebih rendah dari potensi energi terbarukan yang sesungguhnya.

Menurut Fabby, data potensi energi terbarukan yang tidak optimal akan mempengaruhi cara pandang, strategi serta pembuatan keputusan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. “Kesalahan ini akan membuat pemerintah dan pelaku usaha tidak optimal merencanakan transisi energi di Indonesia, dan formulasi kebijakan untuk mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan. Pemutakhiran data menjadi sangat penting dalam rangka merencanakan transisi energi Indonesia,” ujar Fabby, dalam acara peluncuran kajian Beyond 443 GW Indonesia’s infinite renewable energy potentials, Senin (25/10).

IESR menggunakan GIS untuk memutakhirkan data potensi teknis surya, angin dan air. Mempertimbangkan masalah variabilitas dan sifat intermitensi ketiga jenis energi terbarukan tersebut, IESR juga mengkaji potensi biomassa serta penyimpanan daya hidro terpompa (Pumped Hydro Energy Storage, PHES). Hasilnya, Indonesia mempunyai total potensi teknis energi surya, angin, air dan biomassa sebesar 7.879,43 GW dan 7.308,8 GWh untuk PHES.

“Biomassa dan PHES dapat digunakan sebagai sumber-sumber pelengkap untuk mengatasi masalah intermitensi dan variabilitas dari energi surya, angin, air. Hasil hitungan kami menunjukkan potensi biomassa mencapai 30,73 GW, namun efisiensinya hanya 20-35 persen sehingga memerlukan PHES,” ungkap Handriyanti Diah Puspitarini, peneliti senior dan penulis utama kajian tersebut.

Potensi besar ini jika dimanfaatkan secara optimal akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan energi di Indonesia. Kajian Dekarbonisasi Sistem Energi di Indonesia yang dilakukan IESR dan telah dipublikasikan Mei lalu, memproyeksikan kebutuhan kapasitas energi mencapai 1600 GW pada 2050. Indonesia dapat memenuhi kebutuhan listrik sebesar 1600 GW tersebut dari 100 persen energi terbarukan dan mencapai niremisi pada 2050. Berdasarkan kajian tersebut, kontribusi utamanya berasal dari 1.492 GW PV surya (88% dari bauran energi primer), 40 GW tenaga air, dan 19 GW panas bumi dan didukung dengan kapasitas penyimpanan yang optimal.

Kajian IESR tersebut juga memuat data potensi teknis surya, angin, air, biomassa dan PHES secara rinci di 34 provinsi di Indonesia. Data ini dapat digunakan oleh pemerintah pusat dan provinsi untuk lebih gencar mempromosikan dan mengembangkan proyek energi terbarukan yang terdesentralisasi sesuai potensi terbesarnya, namun saling terhubung antar pulau dan provinsi untuk menyeimbangkan pasokan energinya.

Handriyanti menjelaskan peta potensi energi terbarukan dapat dikembangkan lebih lanjut dengan mempertimbangkan biaya, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas kepada para pemangku kepentingan tentang lokasi energi terbarukan yang optimal untuk dikembangkan.

“Selanjutnya, pengembangan energi terbarukan dapat diwujudkan dengan dukungan kebijakan dan regulasi yang tepat,” ujar Handriyanti.

Melalui kajian ini, IESR merekomendasikan kepada pemerintah untuk pertama, memperbaiki data potensi energi terbarukan yang menjadi acuan perencanaan di sektor energi dan pembangunan, dan melakukan tinjauan secara berkala seiring dengan semakin matangnya teknologi energi terbarukan. Kedua, pemerintah maupun para ahli perlu melengkapi peta potensi teknis dengan analisis singkat mengenai intermitensi, variabilitas, dan kesiapan jaringan, termasuk prediksi kondisi di beberapa tahun ke depan.

Rekomendasi ketiga, pemerintah dan pemangku kepentingan harus mulai mempertimbangkan pengembangan sistem terdesentralisasi dan koneksi antar pulau sebagai cara untuk menyediakan listrik dari energi terbarukan yang dapat diakses oleh masyarakat di seluruh pulau, terutama daerah terpencil. Keempat, pemerintah perlu memberi dukungan lebih pada berbagai inovasi teknologi energi terbarukan sehingga dapat membuka peluang pemanfaatan potensi energi terbarukan yang besar.(RA)