JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) mencatat produksi siap jual (lifting) minyak dan gas hingga 30 Juni 2018 rata-rata hanya mencapai 1,923 juta barel oil ekuivalen per day (BOEPD), dibawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar dua juta BOEPD.

Amien Sunaryadi, Kepala SKK Migas, mengatakan hingga akhir 2018 lifting diproyeksi tidak akan mencapai target.

“Outlook akhir tahun 1,891 juta BOEPD atau 95% dari target,” kata Amien saat konferensi pers di kantor SKK Migas Jakarta, Jumat (6/7).

Lifting minyak bumi sebesar 771 ribu barel oil per day (BOPD) atau hanya 96% dari target sebesar 800 ribu BOPD Untuk lifting gas bumi sebesar 1,152 juta BOEPD atau 96% dari target yang sebesar 1,2 juta BOEPD.

“Untuk lifting minyak akhir tahun diperkirakan hanya 775 ribu BOPD atau 97% dan gas sampai akhir 2018 hanya mencapai 1,116 juta BOEPD atau 93%,” papar Amien.

Dia mengatakan salah satu penyebab utama tidak tercapainya lifting minyak adalah kondisi lapangan minyak di Indonesia yang sudah berumur tua, sehingga decline produksi tidak bisa dihindari. Upaya yang paling tepat untuk bisa meningkatkan produksi dengan melakukan pengeboran justru tidak optimal.

“Pengeboran belum 100%. Pengeboran eksploitasi ini tidak sesuai target dan tambah produksi, jadi tidak sesuai target. Sumur tua pasti produksi decline, supaya menjaga keseluruhan decline dilakukan pengeboran baru, kalau pengeboran tidak sesuai target, produksi juga tidak bisa tercapai,” papar Amien.

Menurut Amien, KKKS melaporkan kegiatan pengeboran masih sulit dilakukan akibat permasalahan lahan yang kerap kali dihadapi. “Pembebasan tanah masih jadi masalah, jadi kontraktor tidak bisa ngebor,” ungkap dia.

Lima perusahaan besar yang menjadi kontributor terbesar dalam lifting minyak Indonesia saat ini adalah, Mobil Cepu Ltd, PT Chevron Pacific Indonesia, PT Pertamina EP, Pertamina Hulu Mahakam dan CNOOC.

Untuk lifting gas sangat dipengaruhi oleh komersialisasi yang tidak optimal. Lifting migas tidak optimal justru disebabkan oleh faktor ketersediaan konsumen ataupun ketersediaan fasilitas serta infrastruktur penyaluran gas.

Untuk lifting gas gas terbesar ditopang dari BP Berau Ltd m (Tangguh), Pertamina Hulu Mahakam, ConocoPhillips (Grissik) Ltd, PT Pertamina EP dan Eni Muara Bakau.

Amien mengaku tidak bisa menyalahkan KKKS sepenuhnya karena kondisi yang ada yakni harus berdasarkan kesepakatan entitas bisnis antara penjual dan pembeli gas.

Penyebabnya bukan hanya hulu, tapi konsumen gas ada tapi pembeli tidak ada atau jaringan transmisi tidak ada…

“Jika seperti itu, KKKS tidak bisa disalahkan, ada yang karena kesepakatan harga,” kata Amien.(RI)