JAKARTA – Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) menjadi salah satu pembangkit listrik yang jadi alternatif dalam era transisi energi. Untuk itu porsinya di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 cukup besar, terutama dalam periode lima tahun pertama.
Salah satu tantangan dalam pengembangan PLTG adalah dari sisi pasokan gas karena untuk tahun ini saja pemerintah harus berjibaku mengotak atik jatah ekspor untuk dialihkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Djoko Siswanto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), menyatakan salah satu andalan dalam menambah pasokan gas untuk bisa dipasok ke pembangkit listrik adalah sumur – sumur gas yang dikelola oleh ENI.
“Ada dari ENI, semua yang dikelola ENI itu volumenya sekitar 1.000 MMscfd,” kata Djoko saat ditemui Dunia Energi beberapa waktu lalu di Jakarta.
Selain gas dari sumber-sumber pasokan yang dikelola perusahaan asal Italia itu, ada juga pasokan gas dari Donggi Senoro. Menurut Djoksis pasokan dari sana bukan berasal dari sumur baru melainkan berasal dari pengalihan pasokan gas yang sebelumnya diekspor. “Donggi Senoro kontrak berakhir 2027, nanti untuk dalam negeri dulu, kalau sudah terpenuhi baru keluar (ekspor),” tegas Djoko.
Selanjutnya pemerintah juga mengharapkan beberapa pasokan gas tambahan dari beberapa proyek besar seperti proyek Abadi Masela. Kemudian ada dari Layaran dan Tangkulo yang dikerjakan oleh Mubadala Energy.
Berdasarkan RUPTL terbaru total jumlah tambahan kapasitas PLTG hingga 2034 mencapai 10,5 Gigawatt (GW).
Untuk tahun 2025 tambahan kapasitas sebesar 0,4 GW kemhdian untuk tahun 2026 sebesar 1,6 GW lalu tahun 2027 sebesar 3,8 GW. Selanjutnya tahun 2028 sebesar 1,1 GW, tahun 2029 mencapai 2,4 GW. Tahun 2030 sebesar 0,7 GW.
Selanjutnya untuk tahun 2031 hingga 2033 tambahan masing-masing sebesar 0,1 GW dan terakhir tahun 2034 ada tambahan sebesar 0,2 GW.
Komentar Terbaru