JAKARTA – Sejumlah peraturan perundangan dianggap tumpang tindih, seperti Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 6 Tahun 2016 dimana salah satu isinya adalah melarang terjadinya trading bertingkat, karena disinyalir menjadi salah satu penyebab tingginya harga jual gas bumi yang dibeli oleh konsumen akhir. Sementara pada Permen ESDM Nomor 58 Tahun 2017, harga jual gas bumi diatur dan dibatasi oleh pemerintah melalui formula harga tertentu, dimana biaya niaga gas dibatasi sebesar 7% dari harga gas hulu, ditambah 11% IRR pengembalian investasi.
Hal tersebut menjadi tumpang tindih karena tujuan untuk mengurangi harga gas sudah dapat diwujudkan dari Permen No 58/2017 tersebut meskipun trading bertingkat tetap diperbolehkan.

Eddy Asmanto, Ketua Asosiasi Perdagangan Gas Alam Indonesia alias Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA), mengatakan tumpang tindih peraturan semestinya bisa segera ditindaklanjuti oleh pihak terkait agar dapat memperbaiki carut marut usaha niaga gas yang semakin terpukul beberapa tahun terakhir dengan banyak terbitnya aturan-aturan yang mengatur dan membatasi kegiatan-kegiatan usaha seperti pasokan gas, transportasi gas, harga gas dan lain-lain.

Menurut Eddy, trading bertingkat masih diperlukan diantara para trader guna mengatasi kesulitan dalam penyaluran gas bumi, karena semakin sulitnya mendapatkan pasokan, kesiapan dalam penyaluran gas, dinamika konsumen akhir, serta optimalisasi infrastruktur yang sudah ada saat ini.
“Tentunya hal ini harus dibatasi dengan beberapa ketentuan seperti kewajiban para trader untuk memiliki faslitas penyaluran gas bumi sendiri,” kata Eddy, dalam FGD “Harmonisasi Peraturan-peraturan Perundangan Gas Bumi” yang digelar INGTA sebagai asosiasi yang menaungi badan usaha trader gas, di Bali, Kamis(24/3/2022).
Turut hadir pada acara tersebut nara sumber dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Direktorat Pembinaan Usaha Hilir Migas dan juga Badan Pengatur Hilir Migas.

Dalam FGD tersebut juga membahas beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan kegiatan usaha niaga dan pengangkutan gas bumi.

Eddy menjelaskan, terkait dengan Permen 6/2016, juga diatur mengenai alokasi gas bumi kepada BUMN, BUMD dan Badan Usaha Swasta. Hal ini tumpang tindih dengan Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2018 yang mengatur alokasi Gas Bumi melalui mekanisme lelang Wilayah Jaringan Distribusi (WJG) dan Wilayah Niaga Tertentu (WNT).

Sementara pada aturan PBPH Nomor 34, dianggap masih perlu disesuaikan dengan kondisi sekarang. Tingginya biaya pengangkutan (toll fee) di beberapa ruas pipa open acces disinyalir menjadi salah satu pemicu tingginya harga gas bumi.
“Padahal banyak ruas pipa saat ini merupakan pipa yang dibangun dan beroperasi sejak lama dan sudah melewati masa depresiasinya. Sehingga seyogyanya apabila mengikuti formula toll fee dari BPH Migas, fee tersebut seharusnya jauh lebih kecil,” ujar Eddy.

Ia mengungkapkan adanya sejumlah biaya di luar toll fee, seperti biaya sewa lahan yang dipatok sangat tinggi berdasarkan nilai NJOP lahan tersebut. Padahal, jika mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oleh DJKN, tarif pokok sewa BMN (Barang Milik Negara) berupa tanah dan/atau bangunan merupakan nilai wajar atas sewa, sehingga apabila dibandingan sangat jauh dengan tarif sewa lahan yang dipatok oleh BUMN hingga sampai 60% per tahun dari harga NJOP. Adapula biaya Operational & Maintenance, discrepancy dan sebagainya yang juga ditagihkan terpisah dari toll fee.

“Biaya tambahan diluar toll fee, seharusnya sudah menjadi bagian dari toll fee tersebut,” ujar Eddy.(RA)