JAKARTA – Langkah PT Pertamina (Persero) menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite rata-rata Rp200 per liter dinilai sesuai dengan formula yang dimiliki mengikuti pergerakan harga minyak dunia. Apalagi dengan kondisi sekarang Pertamina akan makin kerepotan jika tidak menetapkan kebijakan harga baru untuk BBM nonsubsidi.

“Dampaknya adalah kenaikan harga Pertalite sebagai BBM nonsubsidi yang paling bawah tidak bisa ditunda lagi. Pertamina harus menjalankan strategi bisnis yang pelik agar bisa selamat dari permasalahan ini,” ujar Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch kepada Dunia Energi, Selasa (27/3).

Pertamina mulai Sabtu (24/3) menaikkan harga Pertalite, sehingga menjadi Rp7.800 per liter untuk wilayah Jawa, Madura, Bali (Jamali). Seiring kenaikan tersebut selisih harga Premium dengan Pertalite sebesar Rp1.250 per liter. Harga Premium untuk Jamali sejak April 2016 hingga hingga saat ini masih Rp6.550 per liter.

Mamit mengakui kebijakan kenaikan harga Pertalite berpotensi memicu masyarakat kembali bermigrasi ke Premium karena disparitas harga yang semakin jauh. Di sisi lain kenaikan tersebut boleh jadi akan memberikan dampak ke masyarakat karena di berbagai wilayah, dispenser Premium di Stasiun Pengisian Bahanbakar Umum (SPBU) sudah beralih ke Pertalite. Alhasil mau tidak mau masyarakat membeli Pertalite.

Apalagi Pertamina saat ini tidak ada kewajiban untuk menjual Premium, selain di luar wilayah Jawa Madura Bali (Jamali).

“Ini jelas akan menambah beban pengeluaran masyarakat. Kenapa, karena di Pulau Jawa khususnya Premium sulit ditemukan,” tandas Mamit.(RI)