JAKARTA – Menteri BUMN Erick Thohir diminta untuk berorientasi menyelesaikan masalah, dan bukan memicu masalah baru. Dalam konteks transparansi dan akuntabilitas, pengalaman Kementerian BUMN dinilai gagal dalam menggunakan instumen IPO atau swastanisasi. Mukhtasor, Guru Besar Institut Teknologi Surabaya (ITS), mengatakan belum lama beredar berita menteri BUMN memberi target kepada direksi PT Pertamina (Persero) yang baru diangkat agar melakukan IPO (initial public offering) subholding Pertamina untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

“Apakah Erick Thohir sudah lupa? Garuda sejak lama sudah IPO. Tapi toh skandal rekayasa laporan keuangan dan penyelundupan juga masih bisa terjadi,” ujar Mukhtasor yang pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014), Senin (15/6).

Dia menekankan agar swastanisasi tidak dijadikan solusi untuk BUMN energi seperti Pertamina yang merupakan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. “Itu tidak konstitusional,” tegas Mukhtasor.

Menurut Mukhtasor, apabila anak usaha Pertamina akan dijual ke swasta, jangan menggunakan alasan transparansi dan akuntabilitas. Langkah Kementerian BUMN dalam swastanisasi Pertamina ini sangat sistematis. Diawali dengan restrukturisasi, membuat holding dan subholding. Selanjutnya menjual saham subholding tersebut ke swasta.

“Kita ingat pada 2014 Capres Jokowi pernah janji akan membeli kembali BUMN Indosat dan itu tidak terlaksana. Lalu saat ini justru akan menjual BUMN yang lain, apakah ini tidak terbalik-balik?” kata Mukhtasor yang pernah bekerja sebagai penasehat ahli untuk direktur utama Pertamina 2015-2016.

Dalam upaya perbaikan BUMN, Mukhtasor sepakat bahwa soal transparansi dan akuntabilitas harus diperbaiki. Jika transparansi dan akuntabilitas itu artinya harus melibatkan pihak swasta di BUMN, sesungguhnya Kementerian BUMN perlu lebih dulu memberi contoh. Kementerian BUMN harus terbuka dan bertanggungjawab atas sumber persoalan yang terjadi di BUMN, mulai peran para mafia, menggunungnya kerugian, buruknya tata kelola dan sebagainya.

“Bagaimana kalau Kementerian BUMN lebih dulu dibubarkan? Lalu pengelolaan BUMN dilakukan oleh lembaga independen dibawah presiden dan diisi oleh unsur-unsur yang kredibel dari wakil masyarakat, kalangan profesional, pakar tata kelola bisnis, akademisi atau pakar yang mengerti politik perekonomian menurut pasal 33 UUD 1945 dan wakil pemerintah atau kementrian terkait. Itu lebih penting untuk transparansi dan akuntabilitas,” ungkap Mukhtasor.

Hal tersebut, kata dia, lebih relavan mengingat sumber masalah paling berat bagi BUMN justru ketika masalah itu datangnya dari Kementerian BUMN itu sendiri. “Misalnya, tata kelola yang buruk di Kementerian BUMN yang ditandai dengan sebentar-sebentar bongkar pasang direksi Pertamina,” tandas Mukhtasor.(RA)