JAKARTA – Indonesia memantapkan diri untuk menjadi salah satu pemain utama dalam ekosistem kendaraan listrik dunia. Optimisme tersebut bukan tanpa alasan karena modal utama sudah dimiliki yakni sumber daya nikel sebagai bahan baku utama untuk membangun kendaraan listrik berikut dengan baterainya.

PT Vale Indonesia Tbk (INCO) tentu tidak mau ketinggalan untuk ambil bagian menjadi fondasi Indonesia untuk berbicara banyak di transportasi masa depan yang ranah lingkungan. Manajemen kini sedang menggarap pengembangan dua blok tambang nikel Bahadopi di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah dan Pomalaa di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Selain itu pengembangan dua blok tersebut juga akan dibarengi dengan pembangunan fasilitas pengolahan nikel di Bahadopi dan Pomalaa. Pemerintah sendiri telah menetapkan kedua proyek tersebut yakni Pomalaa dan Bahadopi sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).

Untuk pengembangan blok Pomalaa, Vale menggandeng Zhejiang Huayou Cobalt Co., Ltd (Huayou) untuk memproses bijih nikel Vale. Nantinya akan dibangun smelter High-Pressure Acid Leach (HPAL). Pada akhir November lalu Vale dan mitranya baru saja melakukan groundbreaking proyek Blok Pomalaa ditargetkan bisa menghasilkan hingga 120.000 ton nikel per tahun.

Kemudian untuk blok Bahadopi, Vale menggandeng Taiyuan Iron & Steel (Group) Co Ltd (Taigang) melalui anak usahanya Baowu dan Shandong Xinhai Technology Co Ltd. Vale sendiri baru saja menyepakati Final Investment Decision (FID) untuk proyek tambang dan smelter nikel di Blok Bahadopi, Sulawesi Tengah. Nantinya akan dibangun smelter yang akan memproduksi Feronikel dengan nilai investasi mencapai US$2,1 miliar.

Vale juga baru saja menyepakati kerjasama ekspansi smelter Sorowako bersama dengan mitranya di Pomalaa yakni Huayou. Pabrik HPAL baru di Sorowako nanti akan mengolah bijih nikel limonit menjadi produk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dengan kapasitas produksi tahunan mencapai 60.000 ton produk nikel dalam MHP. MHP kemudian dapat diolah menjadi bahan untuk komponen baterai, misalnya untuk kendaraan listrik.

Ada yang menjadi pembeda antara Vale Indonesia dengan perusahaan tambang nikel lainnya yaitu penggunaan gas sebagai bahan bakar energi pabrik smelter nantinya. Manajemen berinisiatif untuk gunakan gas sebagai salah satu komitmen perusahaan untuk menekan emisi yang dihasilkan dari kegiatan operasional.

Manajeman Vale Indonesia cukup sederhana melihatnya. Produk nikel vale saat ini sedang menjadi primadona untuk memenuhi kebutuhan ekosistem kendaraan listrik yang tengah gencar pengembangannya. Akan menjadi ironi apabila produk masa depan yang dibuat dengan tujuan menekan emisi demi lingkungan lebih baik tapi dibuat dari bahan baku yang proses produksi dan pengolahannya masih tinggi emisi.

Investasi untuk menggunakan LNG dalam pengembangan nikel dan produknya tidak sedikit. Hal itu juga disadari oleh manajemen Vale Indonesia. Namun demikian langkah itu justru menjadi prioritas manajemen.

Febriany Eddy, Presiden Direktur dan CEO Vale Indonesia dalam beberapa kali kesempatan selalu menegaskan bahwa Vale Indonesia menerapkan standar yang berbeda dalam kegiatan pertambangan. Untuk itu manajemen rela menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk bisa menerapkan standar tersebut. Ini tidak lepas dari tujuan perusahaan agar kegiatan tambang yang sedang dilakukan bisa berdampak positif bisa dirasakan dalam jangka panjang.

Gas menjadi prioritas unutuk memasok kebutuhan energi di dua proyek nikel tersebut. Dia mengakui dengan menggunakan gas atau energi rendah emisi biaya yang dibutuhkan tidak akan sedikit. Tapi manajemen menegaskan hal itu merupakan bentuk investasi untuk masa depan.

“Konversi gunakan LNG investasi besar, long term hasil lebih baik. Dunia berubah. Saat ini stakeholder keseluruhan sepakat bahwa keberhasilan kita tidak hanya uang. Bisnis usaha tambang harus lihat jangka panjang,” tegas Febriany beberapa waktu lalu di Jakarta.

Pasokan gas menjadi syarat utama konversi bahan bakar di Vale. Untuk itu jauh-jauh hari manajemen menyatakan telah melakukan pendekatan untuk mendapatkan alokasi gas dari pemerintah melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, menegaskan selain pasokan yang tersedia harga gas kata dia juga seharusnya jadi pertimbangan industri, termasuk industri pengolahan bijin mineral tambang. Opsi Impor yang sempat mengemuka menurut Dwi merupakan jalan paling akhir karena cadangan gas di dalam negeri masih melimpah tinggal menunggu untuk diproduksikan. Selain itu jika diimpor tentu harganya akan berbeda dengan gas yang sudah tersedia di dalam negeri.

“Peluang smelter tercukupi gas, nggak akan kekurangan,” ujar Dwi ditemui Dunia Energi di Bandung belum lama ini.

Menurut dia banyak moda transportasi gas yang bisa menjadi pilihan untuk mengangkut gas, seperti menggunakan Iso Tank. Untuk itu harganya diyakini masih lebih baik ketimbang harus impor.

“Kalau memang ada market kita ambil dulu, kita yang desain gimana memenuhi market. Dia butuh energi, apakah dengan batu bara minyak gas nanti dihitung. Bahwa dia nanti LNG, gas pipa, CNG tinggal masalah itung2an kalkulasi mana yang paling murah,” ungkap Dwi.

Ketersediaan pasokan juga terjamin. Menurut Dwi beberapa proyek gas saat ini tengah dikerjakan. Misalnya proyek Jambaran Tiung Biru (JTB), serta temuan cadangan gas di wilayah Andaman. Belum lagi ada proyek Masela yang menurut kalkulasi SKK Migas umur platonya bisa bertahan hingga 20 tahun. “Abadi masela plato 20 tahun lebih. Kalau bangun smelter jangan khawatir gasnya,” kata Dwi.

Sementara itu, M Toha, Ketua 2  Bidang Kajian Strategis Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), menyatakan Vale Indonesia boleh dibilang adalah pelopor penggunaan gas untuk kebutuhan energi pabrik pengolahan nikel.

Apresiasi juga diberikan kepada Vale yang mau berinisiatif menggunakan gas di era transisi energi seperti sekarang.

“Upaya vale misalnya gunakan gas itu sebenarnya kurangi emisi karbon pada dasarnya kita apresiasi. Bagi perusahaan yang kendepankan aspek ESG mereka (Vale) ingin menujukkan ke publik telah menjalankan praktik green mining,” ujar Toha saat dihubungi Dunia Energi.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengungkapkan penggunaan memang memiliki beberap keuntungan misalnya dari sisi pasokan saat ini banyak penemuan cadangan gas ketimbang minyak sehingga di atas kertas dari sisi pasokan seharusnya tidak ada masalah. Kemudian dengan perkembangan kondisi sekarang ini yang mengedepankan energi ramah lingkungan maka pilihan untuk menggunakan gas jadi pilihan paling rasional. “Saat ini gas kelompok paling rendah emisi di golongan energi fosil lainnya,” kata Komaidi kepada Dunia Energi.

Untuk konteks pemanfaatan gas di smelter merupakan terobosan sangat baik karena smelter tidak di barat tapi banyak juga di lokasi tambang sebagian di timur berdekatan dengan sumber gas.

“Kalau bisa dimanfaatkan lebih baik untuk meningkatkan serapan gas di dalam negeri. kalau harus memasang pipa misalnya tidak sepanajng dari timur ke barat. Ini di timur semuanya, ini akan jadi insentif bagi industri gas itu sendiri dan smelter yang memanfaat kan gas,” jelas Komaidi.