JAKARTA – Hampir seluruh sektor menderita akibat dampak dari wabah pandemi Covid-19 yang mulai menyebar ke berbagai belahan dunia pada awal tahun ini dan masuk ke Indonesia sejak awal Maret. Tidak terkecuali sektor migas. Berbagai proyeksi pun harus dikalkulasi ulang. Begitu pula dengan target penyelesaian proyek-proyek migas. Dampaknya bahkan terasa hingga ke proyek yang dipatok rampung tahun depan.

Proyek Jambaran Tiung Biru (JTB) menjadi salah satu proyek yang paling dipantau serius. Pasalnya, ini bukan sembarang proyek gas. Proyek JTB terus digenjot penyelesaiannya untuk mencapai target mulai mengalirkan gas pada Juli 2021. Proyek tersebut dikembangkan mulai dari pengeboran sumur produksi dan fasilitas pengolahan gas yang disebut dengan Gas Processing Facility (GPF).

Jamsaton Nababan, Direktur Utama Pertamina EP Cepu (PEPC), mengatakan menjelang semester II 2020 progress pembangunan keseluruhan proyek sudah diatas 60%. “Progress total JTB sekitar 68% dan gas processing facility plant-nya sudah 65%,” kata Jamsaton saat dihubungi Dunia Energi, Kamis (11/6).

Ia pun optimistis target penyelesaian bisa dicapai, meskipun berbagai tantangan hadir sejak awal tahun hingga kini ada pandemi Covid-19. Manajemen  telah merumuskan beberapa langkah percepatan.

Pertama, mulai kembali memobilisasi para pekerja ahli ke lapangan untuk mempercepat progress konstruksi. Dengan adanya kenormalan baru, kendala-kendala pembatasan mobilisasi pekerja diharapkan sudah tidak ada. Sebelumnya akibat ada pembatasan sosial di beberapa daerah dan penutupan akses bandara di Surabaya, Semarang dan Solo, menyebabkan ketersediaan tenaga kerja ahli di pasaran untuk dipekerjakan di proyek menjadi terbatas. Kemudian berkurangnya hari-hari kerja efektif karena para pekerja luar daerah Bojonegoro harus menjalani masa karantina mandiri selama 14 hari.

Mengubah sistem on-off pekerja yang semula 12 minggu off dan 12 minggu on menjadi 12 minggu off, 12 minggu karantina dan 28 minggu on. Penambahan shift on tersebut bertujuan untuk mengimbangi hari-hari kerja efektif yang hilang akibat menjalani masa karantina.

Kemudian melakukan monitoring secara day by day terhadap vendor atau pabrikan luar negeri dan dalam negeri untuk mempercepat delivery time material ke site, seperti penggunaan air freigh (angkutan udara untuk pengiriman barang) dan melakukan overtime para pekerja di pabrikan. Lalu memberlakukan shift malam pada pekerjaan yang tentu saja tidak mempengaruhi humadity karena diimbangi dengan pemberian insentif gaji untuk biaya komunikasi para pekerja kepada keluarga dan juga menambah biaya vitamin dan aspek hiburan di mess untuk menghilangkan rasa jenuh.

Proyek JTB juga telah menambah tenaga kerja sebanyak 1.000 orang pekerja sehingga total pekerja menjadi sekitar 5.000 orang pekerja dengan tidak ada terpapar Covid-19.

Selain itu, manajemen juga mempercepat proses clearence atau pembebasan barang atau material di pelabuhan kedatangan, sehingga secepatnya dapat terkirim di site.

Jamsaton juga memutuskan untuk mobilisasi para manajemen proyek ke lapangan. “Sehingga permasalahan yang timbul di site bisa segera diselesaikan secara cepat dan tidak harus ke Jakarta lagi,” kata dia.

Hingga kini progress kegiatan pengeboran juga bagus, dari enam sumur yang akan dibor untuk pasokan gas JTB, sudah diselesaikan empat sumur. Saat ini rig drilling sedang mobilisasi untuk pengeboran sumur ke 5 dan ke 6. “Progress pengeboran sumur produksi gas saat ini lebih cepat sekitar 20 hari dari rencana semula dan terdapat efisiensi budget sekitar US$ 80 juta,” kata Jamsaton.

Proses pemasangan rig di lapangan Jambaran Tiung Biru (Foto/Dok/PEPC)

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan munculnya beberapa kendala dalam pengembangan wajar dalam pengerjaan proyek. Apalagi ditengah kondisi seperti sekarang ini. Selain itu sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) jika ada kendala yang dihadapi pasti akan cepat dicarikan jalan keluar, sehingga sepanjang tidak berdampak pada keekonomian proyek harusnya diusahakan tepat waktu

“Kecuali jika memang faktor harga signifikan pengaruhnya pada pelaksanaan proyek. Apapun itu perlu disampaikan saja kondisinya secara clear. Agar para stakeholder mengetahui kondisi yang sesungguhnya,” kata Komaidi.

Proyek JTB merupakan proyek gas terbesar pertama di pulau Jawa sehingga wajar pemerintah menetapkannya sebagai salah satu PSN. Proyek ini sempat mati suri lantaran harga gasnya terlampau tinggi. Dengan nilai awal investasi atau capital expenditure (capex) sebesar US$2 miliar harga jual gas ke pembeli mencapai US$8 per MMBTU dengan eskalasi 2% per tahun. Tentu ini membuat calon pembeli, yakni PT PLN (Persero) dan PT Pupuk Kujang kala itu tidak jadi menyerap karena dianggap terlampau mahal. Sehingga status proyek sempat mengambang dan terhenti antara Go dan No Go atau mati suri.

Untungnya biaya capex mampu diturunkan menjadi sekitar US$ 1,5 miliar yang tentu berimbas juga pada harga jual gas nya. Efisensi dilakukan dengan menyisir biaya capex pada drilling cost dan sektor Project Management Team (PMT Cost).

Pemangkasan biaya dari kedua sektor tersebut dapat menurunkan biaya capex hampir US$ 500 juta dan mampu menurunkan harga jual gas menjadi US$ 6,7 per MMBTU tanpa eskalasi selama 15 tahun. Kemudian ada juga penghematan dari drilling cost didapat dari optimalisasi disain, seperti pemilihan material yang over spec dan mengubah metode drilling (pengeboran).

Sedangkan penghematan dari PMT cost didapat dari pengurangan tenaga expart dari secondee EMCL dan menggantikannya dari tenaga ahli lokal dan meminimalkan jumlah tenaga expart seminimal mungkin dengan rate yang lebih kompetitif.

Peningkatan produksi menjadi 192 MMSCFD tanpa menambah biaya dan juga memanfaatkan komponen limbah sulfur menjadi produk turunan yang bernilai ekonomis di pasaran.

Tidak Mudah

Mengelola lapangan gas dengan kadar CO2 yang tinggi bukan perkara mudah. Jamsaton menceritakan dalam review engineering muncul masalah yaitu terjadinya hydrate dalam proses pengolahan gas. Terjadinya hydrate tersebut menyebabkan performance fasilitas pengolahan gas menjadi tidak maksimal dan reliability plant menjadi sangat rendah.

“Hal ini akan menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah, PEPC dan nuyers dimana parameter keekonomian yang merosot dengan NPV negatif,” kata dia.

Jamsaton dan tim khusus yang ia bentuk melakukan kajian dan menghasilkan dua pilihan solusi yang bisa dijalankan. Opsi pertama adalah menambah biaya capex sekitar US$ 200 juta untuk penambahan peralatan, sementara opsi kedua adalah mengganti teknologi pengolahan gas yang sudah ada dengan beberapa alternatif sub opsi. Opsi pertama akhirnya tidak menjadi pilihan saat itu karena dengan penambahan biaya capex US$ 200 juta maka keekonomian proyek menjadi negatif. Sehingga PEPC memilih untuk mengganti teknologi pengolahan gasnya. Pilihan jatuh kepada teknologi membrane.

Tidak hanya efisien dan teknologi proven, pilihan tersebut juga bisa meningkatkan volume produk gas mencapai 20 MMSCFD karena adanya efisiensi penggunaan utility gas. Dengan demikian produk gas JTB mengalami peningkatan dari semula 172 MMSCFD menjadi 192 MMSCFD tanpa adanya kenaikan capex.

PEPC juga produk sampingan gas yaitu sulfur dari semula dalam bentuk padat menjadi bentuk cair atau asam sulfat (H2SO4). Keputusan untuk memilih produk sulfur cair (H2SO4) adalah untuk menambah revenue produksi lapangan JTB dimana sulfur cair mempunyai nilai jual di market untuk bahan dasar industri, sedangkan sulfur padat adalah produk limbah (waste) yang tidak mempunyai nilai jual bahkan membutuhkan biaya operasi untuk proses pengangkutan limbah sulfur padat.

“Mengubah produk sulfur padat menjadi asam sulfat dapat mengurangi volume impor Indonesia sebesar 40% atau sebesar 300 ton per hari. Hal ini sekaligus mengurangi devisa impor Negara,” kata Jamsaton.(RI)