JAKARTA – Rencana pencabutan regulasi harga batu bara untuk dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) yang ada saat ini dinilai akan menguntungkan pelaku usaha yang akan diuntungkan. PT PLN (Persero) sebagai pembeli utama harus membayar batu bara dengan harga pasar.

Beban PLN akan makin berat. Padahal Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Batu Bara Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, DMO harga batu bara sektor ketenagalistrikan dipatok maksimal US$70 per ton untuk kalori 6.332 GAR atau mengikuti Harga Batu bara Acuan (HBA),  jika HBA di bawah US$70 per metric ton. Pada Juli 2018, HBA tercatat sebesar US$104,65 per ton.

“Pembatalan harga batu bara DMO tidak menghasilkan tambahan devisa sama sekali, kecuali hanya menambah pendapatan pengusaha batu bara, sekaligus menambah beban biaya bagi PLN,” kata Fahmy Radhi Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada, Sabtu (28/7).

Pemerintah berencana menggunakan skema seperti pada pengelolaan minyak sawit. Badan usaha yang mengekspor batu bara nantinya akan dikenakan pungutan biaya US$2- US$3 per ton. Pungutan itu kemudian akan digunakan untuk menambal kebutuhan biaya PLN yang harus membeli batu bara bagi pembangkitnya dengan harga tinggi.

Berdasarkan perhitungan, kata Fahmy, tambahan beban biaya PLN diperkirakan sebesar US$ 3,68 miliar ([(106,25 juta X 104,65)-[(106,25X70)]), sedangkan iuran dari pengusaha US$ 3 per metric ton akan terkumpul US$ 1,28 miliar (425 juta metric ton X US$ 3).

“Jumlah iuran itu  tidak akan mencukupinya, masih ada selisih yang menjadi beban PLN sebesar US$ 2,4 miliar hasil pengurangan US$ 3,68 miliar – US$ 1,28 miliar,” papar Fahmy.

Selain itu, penggunaan iuran untuk subsidi akan terjadi time lag antara pemberlakukan pembatalan DMO harga dengan proses pengumpulan iuran dana. Apalagi menurut Fahmy nantinya harus masih menunggu dibentuknya lembaga pengumpul di Kementerian Keuangan, yang akan semakin memperpanjang time lag. “Sehingga memperpanjang beban biaya yang harus ditanggung oleh PLN,” ungkap Dia.

Selain harga DMO batu bara yang akan dievaluasi, wacana lainnya adalah mencabut kewajiban DMO batu bara.

Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Maritim, mengatakan revisi aturan DMO untuk mendongkrak nilai ekspor batu bara guna menambah devisa untuk mengamankan defisit transaksi berjalan Indonesia. Apalagi ditengah kondisi harga komoditas batu bara yang tinggi seperti sekarang.

Namun menurut Fahmy target pendapatan devisa lebih besar dari ekspor batu bara dengan mencabut kewajiban DMO tidak akan signifikan. Pasalnya ketentuan DMO produksi batu bara hanya 25% dari total penjualan, sedangkan 75% masih tetap bisa diekspor dengan harga pasar. Dengan DMO 25%, penambahan devisa dari ekspor sangat tidak signifikan, bahkan diperkirakan tidak ada tambahan devisa sama sekali untuk mengurangi defisit neraca pembayaran.

Ia menjelaskan berdasarkan data Kementerian ESDM, total produksi batu bara pada 2018 diperkirakan sebesar 425 juta ton, harga pasar batu bara pada Juli 2018 sebesar US$ 104,65 per ton. Kalau penjualan 25% kepada PLN atau sebesar 106 juta metric ton dijual dengan harga pasar, maka tambahan pendapatan pengusaha batu bara naik menjadi sebesar US$ 11,12 miliar (106 juta metric ton X US$ 104,65). Tetapi kalau menggunakan harga DMO US$ 70 per ton, pendapatan penguasaha hanya US$ 7,44 miliar. Selisih perbedaan harga tersebut sebesar US$ 3,68 miliar (US$ 11,12-US$ 7,44). Sementara menurut Bank Indonesia, defisit neraca pembayaran selama 2018 diperkirakan sebesar US$ 25 miliar.

“Maka selisih harga itu tidak signifikan,” ungkap Fahmy.

Menurut Fahmy, jika benar pemerintah akan mencabut kebijakan kewajiban DMO dan merubah formulasi maka pemerintah akan melakukan kesalahan karena tidak menambah devisa dari ekspor batu bara signifikan untuk mengurangi defisit neraca pembayaran, melainkan hanya menambah pendapatan pengusaha batu bara. “Sekaligus menambah beban biaya PLN,” tandas Fahmy.(RI)