JAKARTA – Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang baru dilantik menggantikan Rini Soemarno menyatakan akan langsung bergerak melakukan penataan BUMN. Salah satu fokusnya adalah mengevaluasi salah satu BUMN terbesar di tanah air yakni PT Pertamina (Persero).

Dia mengungkapkan ada masalah di Pertamina yang harus segera dituntaskan yakni terkait kerja sama pembangunan kilang, salah satunya proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) yang dikerjasamakan dengan Saudi Aramco.

“Yang pasti kan banyak hal-hal yang kami harus segera tuntaskan. Misalnya mengenai contoh kereta cepat Bandung, atau mungkin juga mengenai hasil pembicaraan Saudi Arabia dengan indonesia mengenai Aramco (Saudi Aramco) dengan Pertamina,” kata Erick di Kementerian BUMN, Jakarta, Rabu (23/10).

Erick mengaku banyak pihak yang mempertanyakan kelanjutan kerja sama Pertamina dan Saudi Aramco. Ia mengaku perlu sedikit waktu untuk pelajari masalah yang membelit proyek tersebut. “Hal-hal ini yang kami harus review karena kan kalau ditanya pak Erick statusnya bagaimana,  saya belum tahu,” ujarnya.

Meski belum memastikan adanya perombakan jajaran direksi BUMN termasuk Pertamina, Erick juga berjanji akan melakukan evaluasi besar-besaran terhadap kinerja BUMN. “Ya pasti (evaluasi). sudah seyogyanya kalau saya baru di sini pasti saya akan evaluasi total, baik mengenai kinerja, menajemen tanpa ada prasangka prasangka. Jadi tidak bisa istilahnya mengevaluasi itu karena ada sesuatu, tidak lah. Kami mau profesional, mau bikin iklim yang baik dan yang sehat lah,” kata Erick.

Keputusan kelanjutan kerja sama Pertamina dan Saudi Aramco akan ditentukan pada Akhir oktober ini. Poin utama dalam negosiasi tersebut adalah terkait nilai valuasi aset eksisting yang telah tersedia di Kilang Cilacap. Pertamina berkeinginan untuk menjadikan aset eksisting sebagai bagian dari penyertaan modal saat pembentukan perusahaan patungan Joint Venture (JV) yang akan melakukan pengembangan kilang Cilacap.

Pertamina sempat menyodorkan nilai valuasi berdasarkan hasil perhitungan Pertamina, nilai tersebut langsung ditolak Saudi Aramco. Akhirnya negosiasi kembali dilakukan dan mengambil solusi untuk menunjuk pihak independen untuk melakukan perhitungan valuasi. PWC pun ditunjuk sebagai konsultan untuk melakukan penilaian valuasi, namun Aramco ternyata masih belum sepakat dengan nilai yang disodorkan konsultan independen. Pada proyek Kilang Cilacap Pertamina memiliki saham mayoritas 55% dan Saudi Aramco menguasai 45%. Pembagian tersebut sudah sesuai dengan kesepakatan kedua perusahaan dalam head of agreement yang ditandatangani akhir 2015.(RI)