JAKARTA – Pemerintah berencana kembali memberlakukan skema feed in tariff (FIT) dalam penentuan harga jual listrik pembangkit listrik swasta ke PT PLN (Persero). Hal tersebut dimasukan dalam usulan draf RUU EBT.

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR,  mengatakan pemberlakuan FIT jika disamaratakan sama saja memberikan subsidi kepada pelaku usaha. Untuk  berdaya kecil dan berada di daerah pedalaman, dimana EBT adalah satu-satunya sumber energi listrik, menjadi wajar kalau negara mensubsidi listrik EBT tersebut. Namun untuk listrik EBT berdaya menengah dan besar, sudah seharusnya didorong mekanisme yang lebih kompetitif dan sehat untuk pengusaha listrik swasta.

Mulyanto lebih setuju dengan norma pengaturan yang ada di UU energi eksisting, terkait dengan harga listrik, dimana detil turunannya diatur lebih rinci dalam peraturan pemerintah sebagai executive order. “Harga listrik ini menguntungkan rakyat dan tidak membebani APBN Negara,” kata Mulyanto, Selasa (16/3).

FIT dinilai sama saja dengan subsidi selisih harga terhadap BPP (biaya pokok pembangkitan) PLN, dari semua jenis dan kategori daya listrik sumber EBT dinilai lebih berat ke arah subsidi kepada pengusaha listrik dan akan membebani keuangan negara yang kini sudah terkuras untuk biaya penanggulangan pandemi Covid-19.

“Sumber EBT yang lain harus belajar dari sumber energi surya (PLTS), yang bersama perkembangan teknologi dan ekosistem bisnis yang baik, harganya terus turun,” ungkap Mulyanto.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada  2013 harga listrik dari sumber tenaga surya sebesar US$20 sen per kWh. Lima tahun terakhir harganya menurun sampai setengahnya menjadi US$10 sen.

Dan data terbaru menyebutkan PLTS Apung di Cirata harganya US$5,8 sen per kWh. Bahkan, ada calon investor yang berminat untuk investasi pembangunan PLTS di Tanah Air dengan harga listrik hanya sebesar US$4 sen per kWh. Di beberapa negara Asean harga listrik dari PLTS bahkan bisa mencapai US$1,7 sen per kWh, atau jauh sudah lebih murah dari listrik PLTU.(RI)