JAKARTA – Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022. IETO 2022 merupakan laporan tahunan yang mengulas perkembangan transisi energi di Indonesia serta memproyeksikan tantangan dan peluang sektor energi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca di tahun berikutnya.

Di tahun ke-5 peluncuran laporan IETO, IESR juga menyoroti komitmen pemerintah untuk melakukan dekarbonisasi sektor energi, inovasi kebijakan dan regulasi untuk menarik investasi energi terbarukan, dan peranan sektor swasta dan pemerintah daerah dalam mempercepat transisi energi di Indonesia.

IESR memandang bahwa dekarbonisasi menyeluruh sektor energi merupakan hal yang mutlak dilakukan. Dekarbonisasi harus selaras dengan target Persetujuan Paris yaitu membatasi kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius. Menghasilkan sebanyak 34% dari total emisi pada tahun 2019 membuat sektor energi sebagai penghasil emisi terbesar kedua setelah Forest and Land Use (FOLU) di Indonesia. Jika tidak ada upaya dekarbonisasi yang terencana maka diproyeksikan sektor energi akan menjadi penghasil emisi terbesar di Indonesia pada tahun 2030 dan mempersulit pencapaian target Persetujuan Paris.

“Di tahun 2022, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus berusaha keras meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dan mendorong efisiensi energi di bangunan dan industri,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, di Jakarta Senin(20/12).

Selanjutnya, kata Fabby, pada 2025 pemerintah harus mencapai target 23% bauran energi terbarukan dan setelah itu harus mengejar emisi sektor energi mencapai puncaknya sebelum 2030.
“Kedua milestone ini menjadi indikasi apakah kita bisa mencapai dekarbonisasi di pertengahan abad ini,” katanya.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan komitmennya untuk melakukan transisi energi dengan memasukan porsi kapasitas pembangkit energi terbarukan yang lebih besar, 51% atau sebanyak 20.923 MW pada 2030 dalam RUPTL PLN 2021-2030. Sementara untuk selaras dengan target dekarbonisasi 1,5℃, menurut kajian IESR, setidaknya perlu 140 GW energi terbarukan, yang didominasi PLTS pada 2030.

IESR memandang untuk mencapai target yang besar perlu evaluasi yang serius terhadap kualitas kebijakan dan regulasi yang ada saat ini. Dalam lima tahun terakhir, sejak PP No. 79/2014 tentang KEN disahkan, laju pertumbuhan energi terbarukan cenderung lambat.

Data dari IETO 2022 menunjukkan bahwa dalam 5 tahun terakhir, energi terbarukan rata-rata hanya bertambah 400 MW. Selain itu, pemerintah Indonesia juga masih memberikan tempat bagi batubara dalam skenario transisinya seperti dalam program penggunaan CCS/CCUS pada PLTU batubara, gasifikasi batubara, bahkan co-firing batubara.

Menurut IESR, penggunaan teknologi CCS/CCUS pada PLTU akan berdampak pada harga listrik lebih mahal dan meningkatnya risiko potensi aset terdampar yang lebih besar karena biaya yang tidak kompetitif. Selain itu, penerapan teknologi co-firing dan clean coal technology seperti PLTU Ultra-supercritical menghasilkan penurunan emisi yang tidak signifikan, sehingga membuat penggunaan teknologi ini dipertanyakan efektivitasnya.

Biaya pembangkitan listrik dari penggunaan CCS pada PLTU akan bersaing dengan teknologi energi terbarukan dengan storage. Sejauh ini, PLTU dengan CCS yang beroperasi di dunia masih punya kendala pada operasi dan pencapaian penurunan emisinya.

“Bahkan salah satu proyek PLTU dengan CCS tersebut, seperti Petra Nova di Texas ditutup setelah baru beroperasi selama kurang lebih 4 tahun. Jadi, kesiapan teknologi saat ini, serta proyeksi harga teknologi dalam dekade mendatang harusnya menjadi pertimbangan utama, dan jelas bahwa prioritas harus diberikan pada teknologi dengan biaya paling kompetitif yaitu energi terbarukan,” ujar Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi IESR.

Handriyanti Diah Puspitarini, salah satu Penulis IETO 2022, mengatakan bahwa meski belum mencapai target yang ditetapkan, kapasitas terpasang energi terbarukan terutama dari PLTS menggeliat di hanya 17,9 MWp, dan kendaraan listrik seperti motor listrik mengalami sedikit kenaikan sebanyak 5.486-unit dan mobil listrik sebanyak 2.012 unit. Hal ini dapat menjadi potensi yang perlu dikembangkan di tahun 2022.

Handriyanti menekankan agar pemerintah Indonesia perlu mendorong pengembangkan teknologi yang diproduksi secara lokal untuk menangkap peluang lebih besar seperti penurunan capex proyek energi terbarukan. Selain itu, pengembang lebih mudah mendapatkan teknologi dengan kualitas tinggi dan harga yang murah tanpa perlu impor.
“Dengan demikian, akan banyak investasi bukan hanya pada proyek energi terbarukan sendiri, tetapi ke sektor industri di Indonesia secara umum,” ujarnya.(RA)