JAKARTA – Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) masih sulit bersaing dengan pembangkit fosil seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) akibat masih tingginya Biaya Pokok Produksi (BPP). Salah satu pembentuk BPP tersebut adalah Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJPSDA). Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan BPP PLTA masih lebih besar dibanding dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Kementerian ESDM telah mengusulkan besaran BJPSDA sebesar Rp5 per KWh.

“Justru dengan kondisi sekarang ini BPP PLTA jauh lebih besar dibanding PLTU. Ke depannya akan sulit bersaing, kalau nanti kita mendorong pemanfaatan PLTA sebagai sumber energi terbarukan yang merupakan tujuan utama untuk mengurangi emisi,” kata Arifin, Kamis (23/7).

Pengajuan tarif dari sektor energi yang dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, penerapan UU Nomor 17 Tahun 2019 pasal 29 yang berpotensi menimbulkan tambahan BPP listrik, baik PLTA maupun non-PLTA yang akan membebani subsidi listrik. Persetujuan tarif diputuskan oleh tim evaluasi tarif yang terbentuk dari Kemenko Perekonomian, Kemenkeu, Kementerian BUMN, Kementerian ESDM, dan Kementerian PUPR.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) telah mengambil alih tim evaluasi tarif jasa pengelolaan sumber daya air BJPSDA, yang merupakan salah satu komponen pembentuk harga listrik PLTA.

Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Marves, mengungkapkan berdasarkan keputusan bersama maka tim evaluasi tarif BJPSDA diambil alih Kemenko Marves agar lebih mudah berkoordinasi.

“Jadi yang menentukan tarif itu tim evaluasi tarif yang terbentuk dari Kemenko Perekonomian, Kemenkeu, BUMN, Kementerian ESDM, dan Kementerian PUPR. Jika tim ini sudah sepakat baru kita akan menetapkan keputusannya. Jadi tidak ditetapkan dalam satu pihak saja,” kata Luhut.

Basoeki Hadimoeljono, Menteri PUPR, mengatakan tim evaluasi tarif akan menghitung dengan dua variabel, yaitu biaya pengolahan dan pemanfaatan ekonomi.

“Variabel penghitungan itu dari biaya pengolahan dan nilai biaya manfaat (dari penggunaan air dari wilayah sungai tiap pengguna), penggunaan anggaran berdasarkan kebutuhan atau 50% yang selama ini sudah diusulkan. Selain itu, perlu ditinjau kembali untuk mengenai tarif baru dengan formula yang ada berdasarkan undang-undang,” kata Basoeki.(RI)