Judul : Bergerak Melampaui Batas

Penulis : Husnawati Djabbar, dkk

Ukuran : 15 cm x 23 cm

Tebal : x + 88 halaman

Cover : Soft Cover

 

Lokasi penambangan minyak dan gas bumi di Indonesia sebagian besar berada di daerah-daerah terpencil dan terisolasi akibat letak geografisnya yang sulit. Perusahaan migas hadir membawa harapan bagi perbaikan infrastruktur maupun perbaikan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan masyarakat.

Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) – atau lebih dikenal dengan sebutan Corporate Social Responsibility (CSR) akan membawa dampak positif terhadap masyarakat dan perusahaan. Melalui berbagai program CSR, perusahaan memberdayakan masyarakat agar menjadi mandiri dan memiliki berbagai macam keahlian. Sementara untuk perusahaan dengan adanya dukungan dari masyarakat dapat memberikan kontribusi positif sehingga kegiatan operasional perusahaan dapat berjalan dengan baik. Namun, merancang dan mengimplementasikan sebuah program CSR bukan sebuah pekerjaan mudah.

Pada tahap perencanaan, perusahaan harus memastikan bahwa program yang akan dijalankan sesuai dengan permasalahan atau kebutuhan yang ada di masyarakat. Tahap selanjutnya adalah menemukan individu atau kelompok yang memiliki interest yang sama terhadap program CSR yang disebut sebagai local hero. Mereka kemudian yang akan menjadi garda terdepan dalam mengimplementasikan program CSR.

Para local hero dan kelompok masyarakat yang berpartisipasi dalam program CSR pasti merupakan sosok yang senantiasa menghendaki perubahan. Mereka senantiasa bergerak untuk melewati berbagai keterbatasan dan rintangan gunameraih kemajuan. Kiprah mereka ini bisa dibaca dalam  buku berjudul “Bergerak Melampaui Batas“.

Buku ini membungkus cerita pelaksanaan CSR di Pertamina Subholding Upstream Regional 3 Kalimantan Zona 9 yang terdiri atas Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS), PEP Sangasanga, PEP Tanjung Field, PEP Sangatta Field dan PHE Lepas Pantai Bunyu.

Salah satu kisah yang menarik adalah penyelamatan Bekantan.   Primata asli Kalimantan ini sangat eksotik. Perutnya buncit. Hidung besar panjang. Rambutnya keren berwarna coklat kemerahan seolah baru dicat di salon kecantikan. Orang Inggris menyebutnya “long-nosed monkey“ atau “proboscis monkey”. Di Kalimantan ada juga yang menyebut bekantan sebagai Kera Belanda.

Hewan ini dikenal sebagai hewan yang senang hidup berkelompok 12-27 ekor. Ada juga yang memiliki anggota 60 sampai 80 jantan dan betina. Sayangnya, opulasi hewan ini kian langka. Saat itu diperkirakan hanya 20 ribu bekantan yang hidup tersebar di Kalimantan, Sabah, Brunei dan Serawak. IUCN Redlist mengategorikan hewan ini dalam status konservasi “terancam” (endangered).

Bekantan sering dijadikan maskot oleh pemerintah dan swasta. Misalnya, maskot Asian Games dan Dunia Fantasi, wahana hiburan tersohor di Jakarta. Primata ini dijadikan maskot Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan SK Gubernur Kalsel No. 29 Tahun 1990 tanggal 16 Januari 1990.

Dengan menyandang status sebagai terancam maka kelestarian habitat bekantan di Kutai Kartanegara menjadi perhatian semua pihak. Masyarakat sekitar tidak pernah lagi memburu dan menangkap bekantan dari habitatnya. Namun, banyak bekantan ditemukan tewas akibat tertabrak kendaraan saat melintas jalan raya, terutama saat malam hari.

Masyarakat setempat pernah mencoba memelihara bekantan namun tidak berhasil. Hewan ini sangat sensitif dan gampang menderita stres apabila dikurung sehingga berujung pada kematian. Menjaga kelestarian bekantan harus membiarkannya hidup bebas di alam liar khususnya ekosistem hutan mangrove.

Populasi Bekantan di Sungai Hitam terus menurun. Sungai Hitam sebenarnya bernama Sungai Kuala Samboja. Sungai yang termasuk kategori kecil ini merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Merdeka yang bermuara di Selat Makassar. Masyarakat setempat lebih senang menyebutnya sebagai Sungai Hitam karena pada waktu tertentu air sungai terlihat berwarna hitam. Lahan gambut serta dedaunan yang membusuk di tepi sungai dan terbawa arus menjadikan air sungai berubah warna meskipun airnya tetap jernih.

Sungai Hitam merupakan salah satu habitat bekantan di Kalimantan Timur yang terletak di luar kawasan konservasi. Habitat alami bekantan ini terletak di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara, tepatnya di Kelurahan Kampung Lama dan Samboja Kuala. Mencapai daerah ini sangat gampang menggunakan mobil atau sepeda motor karena berada di jalan lintas Balikpapan-Handil. Hanya dibutuhkan berkendara selama 1,5 dari Bandara Sepinggan untuk mencapai Samboja.

Penurunan populasi Bekantan terjadi  adanya  penurunan kualitas ekologis di wilayah Sungai Hitam yang disebabkan oleh kegiatan tambang batubara di hulu dan hilir sungai. Selain itu, masyarakat sekitar masih sering membuang sampah sembarang sehingga memperburuk kondisi Sungai Hitam.

Upaya perbaikan ekologis Sungai Hitam cukup sulit karena kawasan sepadan sungai dengan total seluas 67,6 hektare semuanya dimiliki masyarakat. Sejak awal 1990-an terdapat inisiatif perlindungan wilayah sempadan Sungai Hitam yang dipelopori beberapa pegiat yang kelak bernama Kelompok Sungai Hitam Lestari. Mereka memberikan pemahaman tentang pentingnya perlindungan sempadan selebar minimal 20 m pada sisi kanan dan kiri sungai untuk habitat dan sumber pakan utama bekantan. Intinya, pemilik lahan disadarkan agar tidak memanfaatkan kawasan ini selain untuk perlindungan.

Selain itu, Yayasan Alas Lou Taka (ALT) juga memiliki inisiatif untuk menjaga habitat dan kelestarian bekantan dengan cara mencegah terjadinya aktivitas pembukaan lahan. Selain melakukan sosialisasi, ALT bersama kelompok membeli lahan yang dianggap potensial sebagai sumber pakan bekantan seluas sekitar 4,5 hektare yang terdapat di pinggir Sungai Hitam.

PEP Sangasanga Field yang memiliki wilayah operasi migas berdekatan dengan Sungai Hitam mengambil inisiatif untuk menjaga keberlangsungan populasi bekantan. Upaya ini dilakukan dengan cara menetapkan wilayah khusus terlindungi di sekitar DAS  Sungai Hitam untuk dijadikan taman hidup bekantan. Di sepanjang Sungai Hitam kemudian  dilakukan  penanaman mangrove jenis rambai laut di sepanjang Sungai Hitam.  Selain meningkatkan taraf hidup bekantan yang ada di sekitar Sungai Hitam, program ini turut menyumbang peran penting bagi lingkungan dengan turut menyerap emisi karbon sebesar 6.319,44 ton CO2/tahun.

Selain difungsikan sebagai habitat hidup bekantan, taman ini dikelola menjadi ekowisata Ekoriparian Sungai Hitam untuk mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Atraksi yang ditawarkan kepada pengunjung adalah susur sungai dengan menggunakan perahu dan didampingi oleh tour guide. Mereka bisa melihat secara langsung dari jarak dekat sekitar 500 bekantan yang hidup di sana.

Dalam pengembangan Ekoriparian Sungai Hitam, PEP Sangasanga Field menggandeng Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sungai Hitam Lestari sebagai mitra. Lembaga ini dibentuk pada 2018 dengan jumlah anggota aktif sebanyak 27 orang yang sebagian besar berasal dari wilayah Kampung Lama.

Potensi ekonomi Ekoriparian Sungai Hitam sangat besar. Pengunjung akan dikenakan biaya untuk tiket masuk yang nilainya berbeda. Pada Senin-Jumat, tiap pengunjung dikutip Rp10 ribu. Sedangkan pada akhir pekan Sabtu-Minggu atau hari libur nasional akan dikenakan tarif masuk sebesar Rp15 ribu. Pengunjung akan dikenai biaya tambahan untul fasilitas yang digunakan seperti sewa perahu.

Program pengembangan Ekoriparian Sungai Hitam ini terbilang sukses. Program ini ditabalkan sebagai jawara dalam ajang Indonesia Green Awards 2020 untuk Kategori Mengembangkan Keanekaragaman Hayati. Aidil Amin sebagai Ketua Pokdarwis menerima penghargaan Kalpataru 2020 dari Bupati Kutai Kartanegara. Berkat adanya program pelestarian bekantan ini, pada 2020 pendapatan Pokdarwis Sungai Hitam Lestari bisa mencapai Rp59,1 juta. Pengunjung Ekoriparian Sungai Hitam diprediksi akan meningkat seiring dengan penetapan IKN baru di Kalimantan Timur.

(Info lengkap tentang  Buku “Bergerak Melampaui Batas” bisa menghubungi sdr Epriliyani  WA Contact  +62 859 7385 1558)