JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta terlibat untuk melakukan kajian ulang terhadap rencana akuisisi PT Pertamina Gas (Pertagas) oleh PT Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai bagian dari pembentukan holding BUMN migas. Keterlibatan KPK diperlukan menyusul dugaan pelanggaran hukum dan potensi kerugian negara yang dapat terjadi jika rencana tersebut dilaksanakan.

 Pekerja Pertagas di salah satu fasilitas pipa transmisi.

“Kami sangat mengkhawatirkan jika rencana tersebut sarat dugaan KKN dan perburuan rente. Sehubungan itu, kami sangat berharap agar KPK dapat melakukan upaya pencegahan KKN yang relevan sesuai peraturan yang berlaku, termasuk berkonsultasi serta memanggil pihak-pihak dan lembaga terkait, sehingga pelanggaran hukum dan kerugian negara dapat dihindari,” kata Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Jumat (29/6).

Sebagai tindak lanjut pembentukan holding BUMN migas yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2018 pada Februari 2018, Kementerian BUMN telah memutuskan akan mengonsolidasikan bisnis Pertagas dengan PGN melalui skema akuisisi. Proses akuisisi Pertagas oleh PGN ditargetkan selesai pada Agustus 2018. Padahal skema akuisisi Pertagas oleh PGN belum tentu merupakan pilihan yang terbaik bagi negara, karena terdapat beberapa alternatif lain yang lebih baik. Apalagi melalui holding BUMN migas, PGN telah berada dibawah naungan PT Pertamina (Persero) yang saat ini juga menjadi induk usaha Pertagas.

Kementerian BUMN sebelumnya menyebut ada tiga opsi skema konsolidasi Pertagas dan PGN yang dapat ditempuh, yakni merger, inbreng (penyerahan) saham Pertamina di Pertagas ke PGN, dan akuisisi saham Pertagas oleh PGN. Akuisisi dipilih karena diklaim hanya membutuhkan waktu sekitar empat bulan, sedang proses merger butuh waktu lebih dari satu tahun.

“Kami meminta agar proses konsolidasi kedua perusahaan tidak hanya dibatasi untuk harus memilih satu dari ketiga opsi dan hanya mempertimbangkan aspek dana dan waktu,” papar Marwan.

Menurut Marwan, jika ingin menjamin dominasi penguasaan negara sesuai konstitusi, mestinya perusahaan yang kepemilikan saham negara yang lebih besar yang mengakuisisi perusahaan yang saham negaranya kecil, bukan sebaliknya.
“Hal ini telah diterapkan pada holding BUMN tambang. Inalum (PT Indonesia Asahan Aluminium) karena 100% milik negara, ditetapkan sebagai pemimpin holding, meskipun nilai kapitalisasinya lebih kecil dibanding Bukit Asam maupun Aneka Tambang,” tandas Marwan.(RI)